Minggu, 13 Maret 2011

Hujan

Aku hujan.
Baiklah, setetes air itu bernama hujan, aku. Aku menolak menjadi bagian dari spring1, aku ingin menjadi bagian dari sebuah sungai 2 atau paling tidak aku ingin mengalir di antara aliran stream 3 yang membelah hutan-hutan tropis yang rimbun. Jatuh pelan-pelan, membuat senandung indah di sela-sela bebukitan curam yang berlumut dan menempel di pucuk dedaunan berdaun jarum. Aku tak mau kering, aku ingin selalu di sini, mengikuti perjalananku sendiri. Aku, sang petualang sejati.Bagiku, perjalanan ini begitu menyenangkan meski tak jarang aku sebal dicaci. Senja di kota ini sungguh ramai, ya kota tempatku jatuh saat ini.
“ Sh*t! I can’t go! Ya, ya, it’s rain and I’m trapped!”
Seorang perempuan berambut blonde memegang ponsel sambil mendongak ke atas, ke arahku yang tak peduli betapa aku telah menunda rencana indahnya untuk bertemu dengan seorang pemilik kongsi bisnis terbesar di negeri ini. Oh, pardon me, aku hanya melakukan apa yang langit titahkan padaku. Come on, uangmu banyak Nona, seorang anak kecil yang menawarkan ojek payung itu tak akan membuat kantongmu kering! Aku mendesah, menyusur talang-talang air berwarna putih ke bagian lain bangunan berdidining kaca tebal.
“ Ya, ampuuuun! Kenapa sih hujan terus?! Kemarin hujan, sekarang hujan!” baiklah aku mendengar suara itu dari sini. Seorang anak muda berusia belasan tahun yang tengah menjejalkan potongan roti bersaos dengan garpu mengumpat sebal sambil melihat ke luar. Ouuups, dia lupa memindahkan garpu ke tangan kanannya. Aku menyeringai, getir. Ah, Tuhan hanya ingin menyirami bumi gersang ini, dengan rahmat yang bisa dilihat oleh sebagian orang. Kulanjutkan perjalananku, ke muara talang. Sebentar lagi aku terjatuh, entah aku tak tau ke mana aku berharap aku tak jatuh di selokan hitam, bau, dan penuh sampah. Aku menikmati perjalananku, berselancar di lorong sempit dan....Oh! Aku mendengar bisik itu, sungguh aku mendengarnya! Seorang pemuda berkaos merah kombinasi oranye dengan simbol outlet ini menyentuhku sesaat setelah ia melempar topinya di kursi! Ia meletakkan tangannya di bawahku, menatapku dengan kelembutan. Tersenyum sebentar lalu membiarkanku menyusuri lekuk wajahnya, dalam sebuah rangkaian yang indah. Sesudahnya, aku tau ia mendongak ke langit, membisikkan sebuah doa yang akan kuantarkan ke langit...
#
Aku Narator.
Seorang perempuan berambut blonde itu keluar dari sebuah outlet makanan khas Itali sambil meletakkan ponselnya di telinga. Highheels- nya klotak-klotak beradu dengan lantai marmer yang mengkilap lalu berdiri tepat di depan pintu masuk. Ia menunggu seseorang mengangkat teleponnya.
“ Hello, Sh*t! I can’t go! Ya, ya, it’s rain and I’m trapped!” Ia melemparkan gumpalan tissue ke tempat sampah lalu meneruskan pembicaraan. Hanya tiga menit, perempuan itu menutup ponselnya lalu memandang sebal pada rerintik hujan yang mencipta tampias ke hadapannya. Sesekali ia mendongak ke langit, mulutnya komat-kamit tak jelas. Ya, hari ini ia dijadwalkan bertemu dengan seorang pemilik kongsi bisnis terbesar di negeri ini, tepat pukul 18.00, tapi sayang dia sudah terlambat lima belas menit karena hujan ini. Taksi yang dua puluh menit yang lalu diteleponnya pun belum datang: penuh, begitu kata seorang operator di ujung telepon. Ia terlalu malas untuk sekadar memanggil seorang ojek payung lalu naik busway. Ia terus berusaha mengubungi seseornag. Sementara itu di sudut lain outlet makanan, seorang gadis belasan tahun duduk menghadapi pan-nya.Tangan kananya memgang pisau, sementara tangan kirinya mencengkeram garpu, mulutnya penuh, sedikit belepotan oleh saus tomat. Sesekali ia melirik ke luar.
“ Ya, ampuuuun! Kenapa sih hujan terus?! Kemarin hujan, sekarang hujan!” tangan kirinya aktif bergerak, memasuk-masukkan potongan roti tanpa etika. Ia terlihat begitu sebal pada hujan senja ini, meski kesebalannya tak mengurangi nafsu makannya. Kali ini ia memanggil seseorang, memesan minum lagi. Seorang waiter mendekat lalu mencatat apa yang ia katakan, hanya beberapa detik saja. Waiter itu mengangguk lalu menyerahkannya ke dapur. Pemuda itu sendiri berjalan ke bagian belakang outlet. Ia menatap jam di pergelangan tangannya di tempat wudhu. Ia hanya memiliki waktu lima belas menit untuk shalat sementara tempat wudhu itu begitu sesak. Ia meletakkan topinya di sebuah kursi lalu menuju pintu belakang outlet. Ditatapnya iar hujan yang tumpah ruah dari talang air. Ia memjamkan matanya sejenak lalu mulai menampung tetes air hujan itu dengan tangannya, membasuhkannya ke angan dan wajahnya dalam sebuah rangkaian yang indah. Ia tersenyum sesudah prosesi itu selesai. Ia menatap langit yang gelap, lalu ia membisikkan sebuah kecil di sana: agar seseorang mengangkatkan jemuran bajunya di kontrakan dan sebuah doa yang disimpannya dalam hati untuk dua orang hebat dalam hidupnya: bapak dan ibu. Ia tahu, hujan akan mengantarkannya ke langit.
#
Aku lelaki.
Aku membersihkan meja nomor 15. Pengunjung meja ini baru saja beranjak keluar, seorang perempuan berambut blonde. Ah, gaya bicaranya aneh sekali, seperti pemain sinetron siapa ya? Pikirku sambil menyemprotkan cairan pembersih ke permukaan meja. Aku mengambil lap bersih yang lain untuk menyempurnakan kebersihan meja ini. Letak tempat tissue kubenarkan letaknya sebelum akhirnya aku mundur ke belakang. Ramai, outlet makanan Italia tempatku bekerja ini selalu ramai setiap harinya. Aku melirik jam tangan murahan yang kubeli dari uang yang kusisihkan sedikit demi sedikit dari gajiku. Seorang pengunjung memanggilku dari kejauhan, aku mengangguk ramah lalu mengambil kertas dan buku menu. Cepat aku menghampiri pengunjung itu, aku tak ingin mereka menunggu.
“ Minumnya?” aku bertanya.
“ Orange Float.” Jawabnya. Aku mengangguk lagi lalu beranjak ke dapur. Suara adzan terdengar dari sela-sela berisiknya hujan di luar sana,menembus celah pintu kaca tebal di depan. Aku segera membawa pan-pan yang pengunjung itu pesankan, ya agar aku bisa segera shalat maghrib. Setelah menyelesaikan order meja 27 aku segera berjalan ke bagian belakang outlet ini. Di sana ada sebuah mushala kecil dan tempat wudhu yang juga kecil. Tanganku cepat melepas topi, tapi...
“ Meja 9.” Seseorang mengingatkanku. Aku urung melepas topi lalu menuju ke meja 9, tempat seorang gadis duduk meghadapi pan yang hampir tandas. Mulutnya penuh dan ada beberapa tetes saus tomat di sana.
“ Teh botol satu.”
Aku mengangguk, syukurlah gadis ini tidak memesan macam-macam, sebotol teh cukup diambil dalam waktu bebrapa detik saja, aku harus segere shalat. Adzan di luar sana sudah tak terdengar, tertelan derasnya hujan. Aku meletakkan sebotol teh di meja 9 dengan sopan lalu bergegas ke belakang. Penuh. Tempat wudhu itu penuh. Waktu shalatku hanya lima belas menit, aku segera menuju pintu belakang outlet. Deras. Aku meletakkan tanganku di bawah talang air yang menumpahkan air hujan. Membasuh wajahku pelan-pelan. Aku masih berdiri di sana setelahnya teringat jemuranku di kontrakan.Ah, semoga ada yang mengangkatkannya. Aku masih menatapi tetsan hujan itu, membisikkan doa pelan-pelan untuk bapak dan ibu di rumah: agar Allah menjaga mereka dengan cinta.


Jumat, 11 Maret 2011

Bimo dan Burung kecil

Bimo dan Burung Kecil
Sepulang sekolah, Bimo meletakkan sepedanya di teras samping dan menguncinya. Bimo lalu melepaskan melepas sepatunya di teras depan sambil bersiul kecil. Ketika ia tengah asyik melepas ikatan tali sepatu, ia melihat seekor burung kecil tak jauh dari tempatnya duduk. Burung itu tengah meloncat-loncat di antara rumput-rumput kecil berbunga halus di halaman rumahnya. Bimo terus memperhatikan burung kecil itu, ia bertanya dalam hati: apa yang sedang dilakukannya? Tak lama burung itu terbang dengan sebatang bunga rumput di paruhnya. Rupanya burung kecil itu tengah membuat sarang dari bunga rumput. Bimo melihat ke atas, mengawasi ke mana burung itu bersarang sampai suara panggilan Bunda terdengar dari dalam rumah.
“ Bimooo, ayo ganti baju dulu, Nak...”
“ Iya, Bunda....”
Cepat Bimo berlari masuk ke dalam rumah lalu mengganti bajunya. Sesudah berganti baju dan makan siang, Bimo kembali duduk di teras depan. Dia masih ingin melihat burung kecil itu. Kali ini ada dua ekor burung kecil di antara rerumputan. Sama seperti tadi, dua burung itu bergantian mematahkan bunga rumput lalu menjepitnya di paruh mereka dan terbang ke atas pohon.
“ Ahaa, sekarang aku tahu di mana sarang burung itu!” Bimo bergumam sambil mengawasi si burung. Rupanya, burung itu tinggal di antara dedaunan pohon sawo di dekat teras samping rumah Bimo. Sarangnya terlihat dari bawah. Bimo yakin di sarang itu ada beberapa telur burung atau bahkan anak burung yang baru menetas.
“ Mereka pasti lucu-lucu.” Bimo berkata lirih.
Hari ini hari Minggu, itu berarti sekolah Bimo libur. Dari pagi Bimo menunggu di bawah pohon sawo dengan sebuah galah di tangannya. Ia akan emngambil sarang burung itu dan memilhara anaknya. Bunda baru pulang dari pasar saat Bimo mulai mengarahkan galahnya ke sarabg burung.
“ Bimo, sedang apa kamu?” tanya Bunda.
“ Di atas sana ada sarang burung, Bunda. Bimo akan memelihara burung.” Jawab Bimo senang.
“ Tapi nanti induk burungnya kehilangan anaknya, sayang. Induknya pasti sedih.” Bunda mengambil galah yang dipegang Bimo.
“ Tapi kan Bimo mau memliharanya, Bunda. Bimo tidak mau membunuhnya kok, pasti induk burung senang dan berterimakasih pada Bimo.” Ia membela diri.
“ Bimo, induk burung itu pasti lebih tau bagaimana cara merawat bayi burung daripada manusia. “ ujar Bunda bijak. Bimo mengalah lalu membiarkan Bunda mengambil galahnya. Akan tetapi, keesokan harinya, sepulang sekolah saat Bunda sedang memasak di dapur, Bimo kembali berusaha mengambil anak burung itu. Dan, berhasil! Dua ekor anak burung yang masih jarang bulunya itu jatuh di depan Bimo masih bersama sarangnya. Bimo girang mengambil anak burung itu dan meninggalkan sarangnya di bawah pohon sawo. Sayangnya, Bimo menemukan anak burung itu mati pagi harinya. Bimo lupa meletakkan tempat burung ittu di atas meja hingga si Belang, seekor kucing liar sudah memakan sebagian tubuhnya. Anak burung yang lain ternyata juga telah mati. Sementara itu, induk burung terlihat terbang ke sana ke mari di atas pohon sawo, sepertinya ia kebingungan mencari anak-anaknya.
@@@
Seminggu kemudian, Bunda mengajak Bimo ke sebuah pameran buku. Bimo senang sekali karena di sana ada banyak buku untuk anak-anak. Bimo sibuk memilih-milih buku di sebuah meja yang menjual buku tentang dinosaurus. Bimo tidak sadar kalau Bunda sudah berpindah meja, sampai bebrapa waktu kemudian ia kebingungan mencari Bundanya. Ia berjalan pelan-pelan menyusuri lorong di antara rak-rak buku yang ramai mencari Bunda. Tapi sayng ia belum juga menemukan Bunda sampai kemudian ia menangis. Seorang kakak laki-laki menanyainya.
“ Kenapa kamu menangis?”
“Bunda nggak ada...Bimo bingung nyariin Bunda.” Bimo berkata sambil sesenggukan. Kakak yang baik hati itu lalu menggendong Bimo yang masih tetap memangis sambil memanggil-manggil Bunda. Bimo rupanya diajak ke bagian informasi. Di sana Bimo bertemu dengan Kakak berjilbab yang menanyai Bimo.
“ Siapa namanya, Adek?”
“ Bimo.”
Ia lalu memabantu Bimo memanggil Bunda dengan pengeras suara. Tak lama kemudian Bunda datang. Ternyata Bunda hanya ke kamar kecil sebentar. Bunda juga panik saat mengetahui Bimo tidak lagi ada di penjual buku anak-anak. Bimo memeluk Bunda masih sambil menangis.
“ Sekarang Bimo tau kan bagaimana rasanya anak burung yang jauh dari induknya?” Bunda bertanya sambil memegang bahu Bimo. Bimo mengangguk sambil menghapus air matanya.
“ Anak burung itu pasti sedih dan ingin bertemu dengan induknya, begitu juga induk burung yang jauh ingin bersama anak-anaknya.” Bunda melanjutkan sambil menggandeng tangan Bimo keluar dari tempat pameran. Dalam hati, Bimo berjanji tidak akan mengambil anak burung dari sarangnya di atas pohon. Bimo juga akan melarang semua teman-temannya yang akan mengambil anak burung itu.

Kamis, 16 Desember 2010

Sun & Flower

Cinta adalah kesederhanaan
Terwujud dalam lima huruf sederhana
Bukan dia yang menghabiskan sepuluh dari dua puluh empatmu
Bukan dia yang meminta lima dari tujuhmu
Tapi dia yang memberi apa yang kau butuhkan
Tanpa kau pernah meminta

Menemukanmu dalam langkah yang berdebu, seperti menemukan setetes air dalam perjalanan panjang yang melelahkan karena kekeringan dalam kemarau panjang tanpa tepi atau menemukan selimut karena merasa sangat dingin ketika hujan turun dalam setengah hari. Bukan saja karena kau begitu tak sempurna justru karena ketidaksempurnaan itulah kau terlihat sangat sempurna. Hanya seorang gadis sederhana yang kutemui setiap hari dalam perjalananku. Melewatkan sepuluh menit tanpamu, seperti membiarkan seribu hari aku kehilanganmu. Meski aku harus terus menunggu dan ini seperti bertahan dalam kebodohan-ya selalu begitu mereka berkata padaku-aku tak akan pernah peduli. Tak akan ada yang berkurang dalam hidupku ketika aku harus menyiapkan sepuluh menitku setiap pagi untuk menunggumu, membantumu menyeberangi jalan Yos Sudarso yang ramai. Tak akan ada yang berkurang dalam hidupku ketika aku sudah menjalani itu semua selama hampir tiga tahun. Seperti pagi ini, aku masih berdiri di sini, di dekat jembatan penyeberangan, menunggu kedatanganmu. Aku merapikan jaketku, meski kau tak akan pernah mengagumi seberapa kerennya aku, seberapa tampannya wajahku, dan lagi-lagi aku tak peduli…
" Hai…" aku menyapamu dan kau mencoba menemukanku. Kau tersenyum padaku, meski aku sendiri tak yakin, benarkah itu untukku? Aku menggandeng tangannya dan menerobos jalan yang ramai. Mengantarkannya sampai ke gerbang sekolahnya di seberang jalan ini.
" Terimakasih…" kau selalu mengatakannya setiap kali aku melepaskan tanganku. Aku tak pernah berharap bahwa kau akan mengajakku berbicara lebih banyak lagi, menanyakan siapa namaku, sekolahku, rumahku, atau kau akan berusaha mengahafal wajahku dengan tanganmu. Aku tak pernah menginginkannya, aku sudah cukup bahagia dengan kesederhanaan yang kita miliki. Meski berjalan monoton, begitu dan begitu…Aku cukup senang dengan apa yang selalu kau ajarkan padaku, meski hanya berlangsung satu menit. Aku mengagumi segala apa yang ada pada dirimu, tentang ketabahanmu, juga tentang semangatmu, aku tak perlu mencari di mana kerapuhan itu, sebab aku tahu, kau bukan gadis yang rapuh...

***
" Apa sih yang kau suka dari gadis itu?" Firdi bertanya sambil menepuk bahuku. Aku menatap lurus-lurus ke arah gerbang sekolahnya.
" Semuanya..." mungkin jawabanku terlalu picisan tapi ini sungguh dari hati.
" Lalu sampai kapan kau akan terus menunggunya setiap pagi?"
Aku menggeleng.
" Bodoh! Kenapa bukan Lyra ketua cheers? Bukan Fani si otak encer dari kelas sebelah? Bukan Zahra ketua keputrian?" dia masih bersikeras untuk tau alasanku.
" Diam..." jawabku pelan tanpa melepaskan pandanganku dari pintu gerbang yang kini terbuka.
" Apa kau bisa pulang sekarang?" ucapku. Firdi memonyongkan bibirnya lalu memacu motornya menyusuri jalan yang ramai, membiarkanku sendiri. Aku bergegas menyeberangi jalan dan menunggunya di pintu gerbang.
" Hai..." sapaan yang biasa dan senyum yang biasa juga.
" Kenapa di sini?" dia menyakan ketidakbiasaanku di sini.
" Umm...hanya lewat...Mau pulang?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku meraih tangannya.
" Apa aku boleh mengantarmu pulang?" aku memberanikan diri.
" Tidak usah, terimakasih..." dia melepaskan tanganku lalu menyusuri jalan itu sendiri. Bukan aku, jika aku tak mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku terus berjalan mengikutinya, mengikuti ke mana arah berjalannya. Hhh...ini melelahkan tapi tak apa...
" Apa kau mengikutiku?"
Aku mengurungkan langkahku, apa yang akan kulakukan? Menjawabnya? Atau bertindak seolah aku tak ada?
" Kita hanya satu arah..." jawabku akhirnya. Kali ini aku menjajari langkahnya dan menggandeng tangannya. Ini hanya membutuhkan sepersekian detik untuk merasakan betapa hari tiba-tiba menjadi senja dan semuanya berubah menjadi seperti siluet yang menghitam. Ada sesuatu yang lain saat aku berada di sampingnya, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya, terlalu absurd untuk digambarkan apa lagi untuk diceritakan.
" Kau mau ke mana?" ucapnya setelah sekian lama.
" Uhmm…mungkin…ke…"
" Ke taman saja…"
" Oh ya, itu ide yang bagus…" aku berkata sambil menatap matanya, mata bening yang terlalu indah untuk tak melihat betapa indahnya dunia. Sebentar angin sore berhembus, meniupkan rasa yang pelan-pelan aku mulai tau maknanya. Perasaan itu memberi, bukan menerima, bukan menguasai tapi memiliki, bukan menaklukan, tapi saling melengkapi. Aku membenarkan letak tasku sebelum akhirnya membimbingmu lagi menyeberang jalan yang ramai menuju taman kota.
Sepi, hanya ada beberapa anak kecil dengan raket-raket mereka, bermain badminton sambil tertawa atau hanya burung-burung gereja yang berlari-lari di atas rumput. Aku menyandarkan bahuku pada bangku taman, lalu mulai menikmati perjalanan pertamaku bersamanya. Tak ada yang istimewa, tak ada bunga, tak ada cokelat, apa lagi makan malam yang romantis. Ini lebih mirip perjalanan persahabatan. Semuanya berjalan begitu saja, murni tak ada yang dibuat-buat, dan ini yang membuatku semakin yakin atas semua perasaan tak beralasan ini. Aku terlalu bingung untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: apa yang kusukai darimu? Karena siapa pun hanya akan menemukan kesederhanaan pada dirimu, dan justru itulah yang tak pernah kutemukan pada gadis lain. Lima menit kemudian kau bangkit dari dudukmu, menuju rerimbunan bunga matahari. Kau mengambil beberapa biji bunga matahari kering dan menyimpanannya di saku bajumu.
" Kau menyukai bunga matahari?" tanyaku. Dia mengangguk lalu tersenyum. Bunga matahari, bukan bunga yang harum, bukan simbol keromantisan, bukan…
" Karena bunga matahari begitu tegar..."
Ya, jawaban yang kubutuhkan, " Kenapa?", dan kali ini aku membutuhkan alasan.
" Karena dia selalu menatap matahari, dia menyukai matahari..."
" O ya..." aku menggantung kalimatku, apa ini Legenda Raja Matahari yang baru? Aku menggumam.
" Apa matahari menyukainya?" tanyaku akhirnya.
" Entahlah, dia terlalu hebat untuk dimiliki oleh setangkai bunga yang hanya bisa menuggu..."
***
Aku meraba saku jaketku lalu kutemukan biji berwarna hitam itu. Kupandangi satu per satu untuk selanjutnya kusimpan dalam kotak berwarna biru. Sebentar aku berpikir untuk sekadar menyimpaannya lalu detik berikutnya aku memutuskan untuk menanamnya di bawah jendela kamarku. Karena bunga matahari itu begitu tegar, karena bunga matahari adalah penunggu yang tak pernah bosan. Begitu pun aku, selalu berusaha untuk tegar, apa pun yang akan terjadi padaku, aku bukan lelaki lemah, bukan…aku juga bukan lelaki yang selalu berjanji, bukan karena takut mengingkari, tapi justeru aku terlalu takut untuk menepati, takut ketepatanku tak sesuai dengan apa yang kujanjikan. Aku bukan lelaki bodoh yang mengejar wanita-wanita bodoh, bukan…aku bukan lelaki sempurna yang mengejar wanita sempurna, aku mengejar wanita yang tak sempurna, agar aku berkesempatan melengkapi apa yang tak dimilikinya…jika dia hanya memiliki separuh hati, maka akan kulengkapi untuk jadi sebentuk hati, pun jika dia tak memiliki mata, maka aku siap untuk menjadi matanya…Terakhir, aku berjanji untuk tidak akan menangis…
" Selesai…" gumamku sambil membersihkan sisa-sisa tanah di tanganku. Aku berhenti sejenak, menatap telapak tanganku, telapak tangan yang selalu menggandengmu setiap pagi, adakah kau ingat semua ini?
***
" Siapa namanya?" Firdi bertanya sesudah menghabiskan separuh dari teh botolnya.
" Siapa?"
" Siapa lagi, gadis itu..."
" Entahlah..." jawabku ringan. Firdi terlihat kecewa dengan jawabanku, tapi aku tak peduli. Nama? Ya sesuatu yang tak pernah kutanyakan sebelumnya. Bagiku, ini bukan sesuatu yang harus diributkan.
" OK. Tapi, kali ini kau harus tahu: sampai kapan kau akan menjadi pahlawan baginya?"
Ini pertanyaan Firdi yang sangat membosankan, " Selamanya..." jawabku tanpa berpikir lalu meninggalkannya sendirian. Aku berjalan menuju perpustakaan sekolah dan memilih untuk menghabiskan waktu istirahatku di sana.
" Yang tadi pagi itu lumayan..." satu suara sinis membuatku menoleh. Dia Lyra. Aku tak menjawab sambil melanjutkan membaca.
" Cukup cantik, tinggi, sedikit kuno, dan..." suaranya menggantung.
" Dia buta..." ucapku ringan sambil melemparkan buku ke rak di sampingku. Kenapa semua orang meributkan hal-hal yang bukan menjadi urusannya? Ini sangat menjijikan...
" Tunggu!" suaranya mencegahku. Aku berhenti tanpa menoleh.
" Apa kau berpikir untuk menyukainya?" lanjutan kalimatnya sugguh menyebalkan.
" Mungkin..." jawabku pendek lalu meninggalkan gadis itu. Kali ini aku benar-benar muak dengan semuanya. Ini hidupku dan aku yang berhak menentukan hidupku sendiri, bukan mereka...
***
Langit mendung dan aku berlari sepulang sekolah. Aku memebenarkan kancing jaketku ketika kurasakan angin berhembus lumayan dingin. Sore ini aku memutuskan untuk libur dari eskulku, basket. Eskul yang katanya milik anak-anak keren, tapi nyatanya tak kutemukan hal keren pada kelompok basketku meski banyak orang bilang bahwa kami bermain sangat hebat, tapi menurutku biasa saja. Aku mempercepat langkahku ketika gerimis mulai turun dan bau debu jalan mulai menguap ke udara. Hujan pertama kali setelah musim kemarau panjang tahun ini. Hujan sempurna turun dan aku memutuskan untuk berhenti di emperan toko. Tidak banyak orang di sana, hanya ada beberapa anak-anak seusiaku dari sekolah lain. Bau basah semakin tercium ketika air semakin tertumpah dari langit. Emperan toko ini mulai ramai, dan lihatlah…gadis itu! Dia berjalan dengan tongkatnya, bajunya basah kuyup! Aku mencoba meraihnya agar berjalan lebih cepat dan mendapatkan tempat untuk berteduh di anatara orang-orang yang berjejal.
" Terimakasih…" selalu saja terimakasih, padahal ini hanya aku, ya hanya aku...
" Dari mana?"
Dia mencoba mencariku setelah mendengar pertanyaanku.
" Beli biji bunga..." dia membuka genggaman tanganmu dan aku memukan kantong-kantong kecil di sana. Beberapa detik kemudian kau memasukkannya ke dalam saku baju hangat sebelum akhirnya melipat tanganmu. Sepertinya kau sangat dingin. Aku membuka jaketku lalu memberikan padamu tanpa bicara.
" Tidak usah..." dia menepis tapi aku tak peduli. Satu jam dua puluh tiga menit. Hujan belum juga reda, dan sepertinya orang-orang sudah mulai bosan untuk menunggu. Mereka memutuskan untuk berlari menembus hujan dari pada menuggu hujan yang entah kapan akan reda. Kini hanya tinggal kami berdua di sini. Aku menatap kaca toko yang mulai berembun. Aku menggambar sesuatu di sana.Menggambar matahari.
" Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya.
" Oh..aku hanya meggambar. Kau mau?"
Dia mengangguk, lalu aku meraih tangannya, membimbingnya.
" Apa yang ingin kau gambar?" tanyaku.
" Kau?"
" Aku menggambar matahari…"
" Kalau begitu, bunga…bunga matahari…"
Kami terus menggambar, memenuhi pintu toko, tak peduli dengan tatapan heran pemilik toko di dalam sana. Hujan belum juga reda. Kami mulai bosan menggambar. Aku kini berjongkok, mengamati air yang mengalir...
" Apa kau bisa membuat kapal kertas?" ujarku. Dia mengangguk, lalu mengambil beberapa kertas dari tasnya. Dia membuat kapal kertas dan aku meletakkannya di atas air hujan yang mengalir. Membiarkan benda-benda mungil itu berjalan sendirian mengikuti aliran air...
" Apa kapalnya sudah jauh?" tanyanya setelah sekian lama.
" Ya...dia sudah pergi ke tempat yang dia inginkan..."
" Ke mana?"
" Laut..." jawabku pelan. Aku tau dia mulai bingung dengan jawabanku, lalu tersenyum. Hujan belum reda ketika petang mulai menjelang, sementara toko di belakang kami sudah sempurna tutup, tapi sepertinya dia tak mengenal petang, baginya setiap saat adalah gelap, yang kutau dia begitu merindukan matahari...Hingga akhirnya sebuah mobil menjemputnya, meninggalkanku yang kini berjalan di bawah gerimis dan hari yang telah berubah malam...
***
Pagi yang muram, setelah hujan sejak kemarin sore dan tadi malam. Aku membuka pintu gerbang rumahku dan mulai berjalan menuju tempatku menuggu. Hhh...kemarin sore adalah hujan yang tak pernah kulupakan...Aku melangkah riang sambil memutar-mutar gantungan kunci yang tadi kutemukan di depan gerbang. Ya, hari ini pasti akan lebih indah...Aku terus berjalan samapai akhirnya aku berhenti di dekat jembatan penyeberangan itu. Menunggu.
Lima menit berlalu, tak ada sesuatu pun yang menarik. Kau belum juga datang, padahal seharusnya aku tak perlu menuggu lama. Aku sedikit berbinar ketika seperti melihat sosokmu dari kejauhan, tapi ternyata itu bukan kau. Aku membantu gadis kecil itu menyeberang dan kembali lagi ke sini, menunggumu hingga jam tujuh hanya menyisakan waktu lima menit untukku berlari ke sekolah.
Kupikir, kau sakit hingga kau tak berangkat ke sekolahmu dan besok pagi pasti sembuh kan? Hari ini lewat begitu saja, tanpa kau...Hari ini aku tak mendengar kata terimakasih dari mulutmu...Hari ini aku sendiri, hari ini aku merasa kehilangan...
***
Berharap bahwa pagi ini aku akan menemukanmu sepertinya bukan harapan yang terlalu tinggi. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya dan menunggumu lagi. Sepuluh menit, tak ada kau. Aku memejamkan mata dan menghitung sepuluh ketukan dalam hati, berharap setelah ketukan itu selesai, aku akan melihatnu berdiri di mukaku. Sepuluh pertama gagal. Aku memejamkan mata lagi kali ini dua puluh. Tak ada kau. Ok, ini kali ketiga aku menghitung hingga ketukan ke tiga puluh dan....ya seorang gadis berdiri di sana, aku meraih tangannya meski itu bukan kau...Aku memutuskan untuk memejamkan mata lagi dan menghitung hingga seratus ketukan, dan ketika aku membuka mata...kosong...hanya ada kertas reklame bodoh yang tertempel dalam kurun waktu seratus ketukan tadi...
***
Hari seperti berlari, meninggalkan jejak langkah bagi siapa saja. Ada yang bersembunyi dari waktu yang terus berjalan atau bahkan ada yang memutuskan untuk ikut bersamanya, seperti aku yang selalu mengisi hari-hari dengan harapan, harapan bahwa kau akan muncul di hadapanku. Aku berdiri di dekat jendela kamarku dan menatapi biji-biji matahari yang mulai tumbuh setelah dua minggu kutanam. Lihatlah warna hijau di ujung bijinya, terlihat begitu segar, seperti sebuah semangat baru. Mungkinkah itu berarti bahwa pagi ini aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan? Aku meraih tasku lalu mulai menyusun apa yang akan kulakukan pagi ini. Yang jelas, aku masih akan menunggumu...Dan aku masih tetap menunggu hingga seorang nenek tua datang dan aku menggandeng tangannya. Dia mengucapkan terimakasih dan tersenyum padaku, persis seperti kau, tapi bukan kau. Aku hanya tersenyum sambil berbalik. Aku kembali memejamkan mata...menunggu...
Satu....dua...tiga...empat....dua puluh tujuh...dua puluh sembilan...tiga puluh tiga...empat puluh enam...lima..puluh...tu...
Aku hanya mendengar satu teriakan keras dari sisiku, satu ledakan, untuk selanjutnya hanya gelap...Tak ada cahaya di sini...
***
Pelan-pelan aku membuka mataku, menemukan isak tangis ibuku di tepi tempat tidurku, menemukan wajah halus milik seorang perawat, dan tangan seorang dokter yang meraba dadaku. Aku mencoba membuka mulutku, tapi tak ada yang bisa keluar dari sini...hanya ada sakit yang membuatku enggan untuk bicara.
" Kau tidak apa-apa, hanya membutuhkan sedikit terapi…" kata dokter itu sambil mengacak rambutku. Aku mencoba tersenyum.
" Kenapa aku di sini?" ucapku terbata.
Ibuku hanya menggeleng lalu memelukku. Apa pun yang terjadi hari ini , dan apa yang akan kurasakan besok, hanya tinggal mengikuti ke mana waktu akan membawaku. Pergi ke mana aku kali ini? Ke mana waktu akan membawaku? Pun hari di mana aku tahu bahwa aku kehilangan kemampuan berjalanku, ke mana lagi waktu akan membawaku? Mengetahui bahwa aku bukan lelaki yang lemah, aku memutuskan untuk tetap bangkit. Tapi, aku pasti akan merepotkan banyak orang dan aku tidak bisa lagi menunggunya di sana. Kali ini aku benar-benar pasrah pada waktu, tapi aku bukan tipikal orang yang suka bersembunyi, karena kau memiliki bunga matahari yang tegar, karena ketegaran itu masih ada ketika aku membuka jendela kamarku…Aku menemukan bunga matahariku telah tumbuh sempurna di sana, meski aku belum menemukan kau lagi…Di mana kau? Adakah kau juga menugguku di sana? Atau adakah kau mengingatku sekali saja?
Aku selalu berusaha menjalani hidup ini seprti biasa, melewatinya dengan penuh semangat meski kini aku telah sesempurna sebelumnya, tak sekeren yang dulu, tak sehebat yang mereka pikirkan. Di sekolah, teman-teman tak banyak bicara dengan kadaanku…Hanya ada Firdi di sampingku, tak ada Lyra, Citra, atau siapa, tapi kondisi ini membuatku aman…
Aku selalu belajar mandiri di mana pun...seperti saat hujan seperti ini, aku berusaha membuka payungku sendiri…
" Mau kubantu?" Zahra menawarkan bantuan. Aku menggeleng sambil tersenyum. Aku bisa kalau hanya membuka payung, ini hal yang mudah.
" Ayo pulang!" teriak Firdi dari kejauhan sambil menerobos hujan. Dan aku hanya menatapi punggungnya yang menghilang di tikungan. Menatapi hujan yang jatuh dari langit lalu meletakkan tanganku di bawahnya. Inilah yang mungkin selalu kau rasakan, kesendirian…Air hujan perlahan-lahan memenuhi tanganku, membasahinya lalu meloncat-loncat seperti mutiara yang jatuh, lalu bergabung bersama dengan air yang lain…Aku menunggu hujan reda sambil menunggu jemputan juga. Aku terus menatapi tetes air hujan dan mulai menggambar embunnya di jendela kelasku. Tak ada yang menggambar bunga matahari. Hanya ada matahari kesepian di sana…matahari yang seandainya bisa memilih, lebih memilih menjadi bunga yang tumbuh di halaman rumahmu, agar setiap hari bisa melihatmu…Aku masih tetap menunggumu…
*** 
" Tidak usah…" aku menolak ketika ibuku memutuskan untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku ingin berjalan sendiri dan itulah kenapa aku berangkat lebih pagi hari ini. Taukah kau, hari ini tepat sebulan aku tak melihatmu, tak pernah melihat senyummu. Aku berjalan memutar kursi rodaku sendirian, menyusuri jalan-jalan yang mulai ramai oleh orang-orang. Apakah ada yang tengah merasakan hal yang sama denganku? Aku berhenti sejenak, menunggunya, mungkin aku akan menemukannya. Bosan, aku mengeluarkan selembar kertas dari tasku lalu mulai menulis.
Bukan mencari
Hanya belajar mengerti arti menemukan
Bukan kehilangan
Hanya belajar untuk tau makna memiliki
Aku melipat kertas itu pelan-pelan dan membentuknya menjadi burung-burungan kecil dan melepaskannya ke udara. Perlahan kertas itu menjauh, terombang-ambing oleh kendaraan yang lewat. Lima belas menit kemudian aku bersiap-siap menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah untuk selanjutnya aku ingin menyeberang. Menuju ke sekolahmu, meskipun aku juga tak mungkin menemukanmu ada di sana…Aku sudah hampir berjalan ketika satu dorongan yang kurasakan begitu lembut membuat roda kursi rodaku berputar…Aku membiarkannya sebelum akhirnya menoleh pada orang itu. Aku hampir berteriak ketika aku menyadari sesuatu, aku hampir berdiri untuk meyakinkan kenyataan yang ada di depanku…karena sesungguhnya itu adalah kau…Kau bisa melihat, sungguh, mata itu begitu indah…
" Terimakasih…" ucapku parau.
Kau berhenti sejenak, menatapku dan tersenyum untuk selanjutnya meninggalkanku sendiri…
Bukan berpisah
Hanya sedikit dari makna kata bertemu
Dan kedua kalimat itu menjejali pikiranku…

Selasa, 14 Desember 2010

Narasi ringan, sebuah mimpi satu syarat.
(Dengan nama Allah, biarkan aku bermimpi dan beri aku sempat untuk mewujudkannya...)
Aku bermimpi, aku ingin memiliki. Sebuah rumah di bagian barat pulau ini. Rumahku terletak di tepi jalan raya, menjorok 200 meter dari jalan itu. Hamparan rumput jepang yang hijau, pun sebuah jalan selebar dua meter dengan bongkahan batu sebesar salak juga deretan pinang berbuah merah. Rumahku berdiri di atas tanah seluas 900 meter, berlantai dua. Lantai satu memiliki ruang tamu, empat buah kamar tidur, ruang keluarga, dapur, garasi dan sebuah teras luar dengan sebuah lampu kecil tergantung di pojoknya, tenaram saat ternyalakan. Lantai dua memiliki tiga beranda utama, masing-masing menghadap ke arah timur, barat, dan selatan. Saat aku lelah menjalani pekerjaanku, bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agriculture and food, kutuju beranda barat, menikmati secangkir teh di tangan kananku, membuka blog pribadiku dan mengisinya dengan tulisan-tulisanku. Bercerita, seperti apa yang kulakukan sekarang. Akhir pekan terjadwal di rumah, aku memutuskan menikmati sunrise di beranda barat, dengan sebuah buku kecil dan pena. Mendekripsikan apapun yang ingin kudeskripsikan. Saat aku ingin melihat sesuatu yang berbeda, menikmati deretan palm merah, atau rerimbunan melati jawa di depan greenhouseku, di sudut halaman depan, aku memilih beranda selatan. Oh ya, rumahku menghadap ke selatan. Di lantai dua ini, ada sebuah perpustakaan pribadi yang luas, lengkap dengan ruang bacanya, berdinding kaca lebar, hingga aku bisa menikmati malam yang bertabur lelampu kota. Ada juga sebuah ruangan luas dengan bentangan karpet berwarna merah marun, di atasnya sebuah atap besar transparan tempatku melihat bentangan langit yang bertabur bintang kapanpun aku mau. Aku menyukai bintang, menyukai astronomi.

Ah, ya...aku menikah tentu saja, dengan seorang lelaki yang dipilihkan Tuhan untukku. Maka aku akn tinggal di rumah itu bersama anak-anakku dan seorang suamiku, juga seorang asisten yang akan sedikit mengambil alih pekerjaanku saat kesibukanku luar biasa. Menjadwal, aku menginginkan lima hari kerja, Senin sampai Jumat. Kataku, aku ingin menghabiskan akhir pekanku bersama anak-anak dan orang tersayang, seseorang berkata padaku bahwa anak-anakku tidak libur di hari Sabtu, ah tak apa toh aku bisa menyiapkan sarapan buat mereka atau mengantar mereka ke sekolah. Sesuatu yang mungkin jarang kulakukan di hari kerjaku. Menemui orangtuaku, yang kupercaya mereka juga tengah menikmati sebuah masa seperti apa yang mereka inginkan, menyiangi tanaman bunga di halaman rumah kami yang luas, mengurusi bebrapa ekor kucing, binatang yang kami pelihara dari tahun ke tahun. Menghabiskan waktu seperti apa yang mereka mau.
Minggu kedua di setiap bulannya, di akhir pekan tentu saja, aku menjadwalkan diri untuk mengunjungi yayasan yang kubuat, semacam rumah singgah sekaligus rumah baca untuk anak-anak jalanan. Kau tau, aku terobsesi untuk membuat sebuah pani asuhan atau apapun itu. Akhir pekan yang tersisa, aku akan menghabiskan semuanya dengan segala cinta yang kupunya. Pulang ke desaku mungkin, ke sebuah desa di dekat barisan Pegunungan Kapur Selatan. Mengenalkan tentang banyak hal, tentang kukang-kunang barangkali, aku pikir kunang-kunang masih banyak di desaku.

Aku tidak lelah bermimpi, aku tidak lelah menuliskan mimpiku, sebuah motivasi sebenarnya, bahwa ada satu syarat untuk membuat semua mimpiku menjadi nyata, ya menjadi orang kaya. Kaya apapun, kaya hati itu harus kaya materi itu pasti. Sebuah keyakinan, bahwa aku pasti bisa. Kau juga bisa bermimpi, tuliskan mimpimu dan katakan pada langit, yakinkan langit bahwa kau akan berusaha dan kau membutuhkan takdir langit. Ah, berhentilah membatasi mimpi, terwujud atau tidak itu bukan urusan kita sekarang. Bermimpilah, apa yang kau impikan, selagi logika belum terlalu mengekangmu, selagi gemintang masih sering singgah di hatimu. Aku tengah meninggalkan logika itusekarang...aku meninggalkannya, maka biarkan aku bermimpi dan beri aku waktu untuk mewujudkannya.
Yogyakarta, 14 Desember 2010, 21:06.

Minggu, 12 Desember 2010

Langit Hati ( Sebuah cerita)


(Kau tidak bisa berhenti mempercayainya, tak lagi mendengar kata-katanya, hanya karena ia mencintai...)
Maka ia kini duduk di depan netbooknya, mengencangkan letak modem di tempatnya sebelum akhirnya membuka homepage di situs jejaring sosial. Sebentar ia membaca tulisan-tulisan di sana, curhat teman-temannya. Tidak tertarik memberikan komentar, ia menuliskan nama seseorang di kolom search. Nama yang lain, nama lelaki itu, yang selalu ia sempatkan untuk ia lihat setiap kali ia membuka situs ini. Dibacanya apa yang tertulis di homepage yang kini terbentang di hadapannya. Tak juga meninggalkan komentar, ia mengklik icon photos. Menikmati gambar pemilik situs tersebut, satu per satu. Ia tak ingin meninggalkan komentar di kolom yang seharusnya, ia justru kembali ke halamannya sendiri dan menuliskan apa yang berputar di otaknya di kolom status. Ia menarik napas panjang, lalu menyandar di kursi. Sebuah getaran halus membuyarkan lamunannya. Diliriknya sesaat.
Assalamu’alaikum, para pejuang pena yang dirahmati Allah, hari ini bertemu di....
Belum selesai ia baca, bergegas menyambar jilbab di balik pintu dan berlari ke luar kamar kosnya yang sepi, menyusuri sepanjang Jalan Flora yang berangin dan bergabung dengan teman-temannya. Sebuah diskusi ringan digelar, tentang tulisan, tentang Islam, dan tentang cinta...
##%##
Tempat yang sejuk tetapi sepi. Lelaki itu bersama rombongannya sedang mengikuti ritual yang harus ia lakukan pagi ini. Mengikuti seorang instruktur , berjalan-jalan menyusuri tepian bukit yang licin. Ia menarik napas dalam-dalam seperti yang instruktur perintahkan. Sesaat rombongan kecil itu berhenti, ia juga. Ia duduk di atas batu besar, tangannya sibuk memilih angle dengan kamera SLRnya. Ia tersenyum sedikit setelah mengambil beberapa gambar. Angin pagi bertiup pelan, mengacak rambutnya. Suara instruktur yang memanaggilnya membuatnya berdiri lalu berlari kecil ke arah rombongan yang sudah meningglkannya beberapa meter. Ia terlihat tertawa-tawa dan bercerita dengan teman-temannya, melupakan sepinya, melupkan sakitnya.
Sanatorium itu terlihat sepi, ketika rombongan kecil memasuki gerbang depan. Gerbang depan itu terbuat dari kayu sepenuhnya, menimbulkan kesan bersahabat dengan alam. Juga batu-batu sebesar biji salak yang ditata di halaman. Rombongan itu berpencar, menuju ke kamar masing-masing. Begitu juga dengan lelkai yang kini berdiri di dekat jendelanya yang luas. Membuka kordennya lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari pagi yang ramah menyentuh permukaan kulitnya yang bersih. Dia menatap nampan berisi sarapannya pagi ini, juga dengan sebuah cawan kecil berisi beberapa butir obat. Ia belum ingin meminumnya. Ia sedang ingin kembali ke kota itu. Kota tempatnya menghabiskan dua tahun sesudah sekolah menengah atasnya, sesudah ia berhasil menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Ia merindukan teman-temannya. Merindukan sebuah undangan dengan  potongan ayat, juga merindukan alat-alat laboratoriumnya yang sudah setengah tahun ini ia tinggalkan. Kau tau,sungguh ia mulai rindu...
Kalau kau tengah berada di sampingnya kini, kau pasti ingin memanggilnya, memintanya untuk berhenti bersedih dan berjanji tiak akan pernah meninggalkannya. Dia terlalu baik, dia sungguh terlalu baik untuk sekadar merasakan sakit. Tapi ini urusan Tuhan, Dia lebih berhak dari pada hati dan perasaan tegamu.
##%#
Dua tahun sebelumnya...
Gadis itu berdiri,bersandar pada tembok pagar sekolah yang kokoh.Ia  memasukkan satu tangannya ke dalam saku roknya yang berumbai, lalu menatap lelaki itu dari jauh. Lelaki itu sibuk menulis di whiteboard, membuat bagan-bagan sederhana sambil sesekali tersenyum pada anak-anak yang duduk memperhatikan di bangku murid. Tangannya terus bergerak, kali ini ia menulis judul baru. Langit sore memerah. Gadis itu berhenti memeperhatikan, ia menali sepatunya yang terlepas lalu tersenyum sekali dan meninggalkan halaman sekolahnya yang sepi. Sayup-sayup ia masih mendengar suara lelaki itu, tertiup angin. Ringan ia berjalan, bukan hanya karena ia mengagumi orang yang tepat, tapi karena sepertinya ini untuk pertama kalinya ia mengagumi seseorang. Kemarin, ia sempat berbicara dengannya, hanya bebrepa kalimat, kalimat yang disimpannya dalam hati, sampai hari ini, sampai kapanpun.
Setengah jam sesudahnya lelaki itu keluar dari ruang kelas, lalu menuju mushola sekolah yang sepi. Menemui Tuhannya dalam sebuah sujud panjang berjeda. Mengucapkan doa-doa yang dibawa udara sampai ke langit. Hanya lima belas menit, ia lalu keluar dan menuju Polygonnya. Menysuri langit yang memerah. Menemukan Venus dan menjabarkan Saturnus di langit barat. Mengucap beberapa kalimat indah lalu mengayuh sepedanya cepat. Jaketnya melambai pelan, terkena efek laju sepedanya.
##%##
Lelaki itu menyalakan laptopnya, lalu membuka Google. Mengetikkan kata “Indonesian Astronomy” di sana. Ia menunggu, lalu membuka tab baru dan membuka situs jejaring sosial miliknya. Menuliskan apa yang ada di hatinya. Ia melihat beberapa nama berbulat hijau di kolom chat, lalu memilih satu nama. Sahabatnya di kota itu. Mengawali pembicaraan dengan salam dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Ia beralih ke halaman Astronmi lalu membuka-buka hal baru. Menemukan orang yang sama yang menyukai halaman itu. Ada nama gadis itu di sana. Lelaki itu berpikir sebentar, mungkin adik kelasku. Ia bergumam sendiri. Sebuah ketukan di pintu membuatnya bersuara. Seorang perawat mengantarkan obat lagi. Lelaki itu tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.
            “ Ibumu tidak datang minggu ini, Za?” perawat itu bertanya rmah sambil memungut beberapa remasan kertas di lantai.
            “ Mungkin sibuk, jadi tidak bisa datang. Toh sudah datang minggu lalu, ya kan?” lelaki itu menjawab ringan lalu kembali sibuk berselancar di dunia maya.
            “ Teman-temanmu?” perawat itu bertanya lagi. Kali ini ia menyodorkan segelas air putih.
Lelaki itu teridam sebentar, lalu melihat ke kalender akademik dalam bentuk soft file dari universitas kebanggaannya.
            “ Ah, ini saatnya mereka ujian. Tidak ada waktu untuk bermain-main...” ia tertawa sendiri, “ Boscha, jauhkah dari sini?” ia bertanya. Perawa itu berpikir sebentar.
            “ Kau punya teropong bintang bukan? Naiklah ke atas bukit di depan sana, tak kalah dengan Boscha...”ucapnya sambil menutup pintu dan tersenyum. Lelaki itu terbatuk kecil, lalu meneguk air di gelasnya. Ia bersandar di kursinya, menerawang. Totalitas rindu itu terkumpul sekarang. Ingin menangis, tapi ini keputusan yang sudah dibuatnya. Apa kau pernah merasakan posisinya? Posisi memilih yang keduanya terasa menyakitkan. Ia ingat benar tiga bulan yang lalu seorang perawat mengantarkan sebuah brosur tentang sanatorium ini.
            “ Kau tak perlu pergi ke sana, sayang. Istirahatlah saja di rumah...” suara ibunya masih terdengar jelas di telinganya. Menggaung. Ia menggeleng mantap lalu meminta sebuah pena dari tangan ayahmu, menyetujui sebuah perjanjian, keputusanmu memilih santaorium ini.
            “ Aku akan sembuh, Ibu. Aku pasti sembuh dengan izin Allah. Bukankah Ibrahim dulu juga jauh dari anaknya, Ibu? Maka biarkan aku mencintai Allah, karena Ia telah memberiku segalanya, dengan keinginanku untuk sembuh.”
Mantap ia ucapkan kailmat itu dan seminggu kemudian ia sampai di kota ini, di tempat sepi ini. Untuk pertama kalinya, ia menangis, bukan karena jauh dari ibunya, ah dia lelaki kuat, bukan karena ia harus cuti dari kuliah yang menghadiahkannya indeks prestasi empat bulat di semester pertama, bukan juga karena ia merasa terkucil karena sakitnya.. Ini lebih karena sesalnya, merasa tak pandai menjaga amanah Allah.
            “ Aku tidak menyesal...” gumamnya. Ia melanjutkan membuka-buka Indonesian Astronomy, lalu menyelami semuanya dengan hati. Ya, jika aku boleh jujur dan bercerita paamu, dia juga pernah merasakan keputusasaan, meski tak lama. Menunjukkan bahwa ia adalah manusia bumi biasa.
## %##
            Di kota yang sama tempat ia pernah berada, gadis itu juga tengah membuka situs jejaring sosialnya, lalu menemukan sebuah nama yang sangat ia kenal, lelaki itu, dalam posisi on line. Ia mengetuk-ngetuk pinggiran mejanya, menimbang. Ingin menyapa, tetapi hatinya menolak. Ia mengeklik nama lelaki itu, sedetik kemudian sebuah kotak chatting terbuka lebar. Sebuah garis hitam berkelap-kelip, menunggu dijalankan. Lama, gadis itu tidak meneluskan sesuatu di sana. Dibiarkannya kotak itu terbuka lebar selama tiga menit. Sesudahnya ia mnyusun huruf-huruf di keyboard netbooknya, menyusun kata salam.Tak ada uapaya menekan tuts enter, ia justru memilih tanda silang di pojok kanan atas. Ia merasa cukup hanya dengan melihat nama lelaki itu. Ia pasti melihat namaku di sana, pikirnya. Dibukanya lembar notes,sekadar bercerita. Tak lama ia memutuskan untuk menutup lembar pribadinya itu, setelah menuliskan berapa kalimat di kolom yang seharusnya: karena kagum itu nyaman menikmati dari kejauhan, karena kagum itu berbeda dengan mencintai. Beberapa detik kemudian bebrepa orang meninggalkan komentar di bawahnya, tapi ia tak peduli.
##%#
Tugas kampus dan tentang tulis menulis. Gadis itu memilih sebuah perusahaan teh di Jawa Barat sebagai objek penelitiannya, sebuah observasi. Bukan hanya ia terobsesi untuk memiliki beberapa hektar kebun teh di sana, tapi juga ia memiliki banyak ide untuk cerita-cerita yang akan ia kirimkan ke beberapa majalah. Ia sama sekali tak memikirkan lelaki itu, kekagumannya mungkin berhasil ia lupakan sejanak meskipiun ia masih sering merasa bahwa ia begitu ingin menyapa lelaki di sana. Lelaki yang kini susah payah melawan sakitnya, meminum berbutir-butir obat dengan nama Allah demi kesembuhan sakitnya. Meyakini sanatorium bukanlah tempat yang membuatnya merasa terkucil, meskipun kenyataannya dia harus jauh dari keluarga. Gadis itu memasukkan semua yang ia perlukan dalam sebuah tas besar, sebelum akhirnya melesat dengan kereta malam ke kota itu.
##%##
Sejuknya mungkin tak pernah ia temukan di sana. Tapi sepinya pun luar biasa. Lelaki itu membuka ponselnya, menemukan beberapa pesan masuk. Sebuah bujukan untuk melakukan pengobatan di dekat keluarganya saja, karena bagaimana pun support itu penting. Ia hanya tersenyum lalu menekan tombol reply dan mengucapkan terimaksih. Kau tau, ia terlihat begitu tegar. Tempat ini tak seburuk yang kau kira. Begitu kira-kira arti tatapan matanya.
Maria, ingat? Dia mati mungkin bukan karena sakitnya, tapi karena ia kesepian. Sebuah pesan yang lucu dari salah satu sahabatnya,sahabat yang paling bisa membuatnya tertawa, mengingatkan tentang tokoh Maria di sebuah roman. Ia lagi-lagi tersenyum dan membalas pesan itu dengan jawaban ringan pula.
Ah, itu karena STA tidak ingin bersusah payah mnjodohkan Yusuf dengan Tuti. Percayalah, aku akan kembali ke kota itu dalam keadaan paling baik yang pernah kau tau.
Ia menekan send masih sambil tersenyum.
Dia tidak ingin lebih banyak membalas pesan-pesan itu, ia kini memutuskan untuk keluar dan bergabung bersama rombongan kecilnya sore itu. Mereka kan berjalan-jalan ke sebuah danau kecil di dekat pemondokan itu. Satu rombongan itu akan bercerita banyak hal, bukan saja karena mereka mengidap penyakit yang sama tetapi karena mereka memang seusia. Mereka bercerita tentang cinta, pada bagian ini lelaki itu memaknainya  lain, atau bercerita tentang hidup, bagian ini lelaki itu berhasil menyikapinya dengan bijaksana.
##%##
Karena kagum itu akan terbawa kapan saja. Gadis itu menyusuri tepian perkebunan teh dengan mobil perusahaan tempatnya melakukan penelitian lalu matanya terpagut pada serombongan kecil pejalan kaki yang berbaris rapi dan mengikuti aturan napas dari sang instruktur. Mobil itu berhenti tak jauh dari rombongan kecil itu, tapi gadis itu menolak turun pun mmebuka kaca riben di sampingnya. Ia melihat dan menemukan lelaki yang dikaguminya dari spion mobil, menikmatinya dari jauh,karena ia yakin, ia begitu nyaman dengan dengan posisinya saat ini.
            “ Ada sanatorium di dekat sini?” ia bertanya pada pemandu di sampingnya. Bapak setengah baya itu mengangguk lalu menunjuk papan penunjuk arah ke sanatorium sepi. Gadis itu tersenyum, megumpulkan tekad. Tekad itu ada, tapi tak bercokol lama. Hari-hari berikutnya ia sibuk menulis dan menumpahkan idenya di lembar microsoft word. Ia ingat pada lelaki iu, tapi ia masih bertahan pada keyakinannya bahwa mengangumi itu tak harus mendekat. Seminggu berlalu, akhirnya gadis itu beranjak dari lembaran tugas kuliah dan lembaran kertas-kertas yang akan ia kirimkan ke penerbit. Ia memutuskan untuk mengunjungi sanatorium itu. Berdalih mengumpulakan ide baru, ia menyusuri tepian perkebunan teh sambil berjalan kaki. Hanya setengah jam, ia masuk lewat gerbang kayu, menemui resepsionis. Wanita cantik itu mempersilakan, sedikit ragu tapi ia boleh masuk juga.
Ia mengetuk pintu kamar kayu itu pelan-pelan, tak ada jawaban. Seorang suster ramah menyuruhnya untuk masuk. Ia masuk lalu menemukan laptop yang setengah trebuka, belum ter-shutdown. Ia mendekat. Detik berjalan lambat,selambat ia menemukan bercak merah di tepian meja. Selambat qori yang melagukan : Yaa ayyuhal nafsul muthmainnah,irji’uu ilaa rabbika raa diyatamardziyyah, wahai jiwa jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridha dan diridhai Allah...dari winnamp yang masih menyala.