Minggu, 13 Maret 2011

Hujan

Aku hujan.
Baiklah, setetes air itu bernama hujan, aku. Aku menolak menjadi bagian dari spring1, aku ingin menjadi bagian dari sebuah sungai 2 atau paling tidak aku ingin mengalir di antara aliran stream 3 yang membelah hutan-hutan tropis yang rimbun. Jatuh pelan-pelan, membuat senandung indah di sela-sela bebukitan curam yang berlumut dan menempel di pucuk dedaunan berdaun jarum. Aku tak mau kering, aku ingin selalu di sini, mengikuti perjalananku sendiri. Aku, sang petualang sejati.Bagiku, perjalanan ini begitu menyenangkan meski tak jarang aku sebal dicaci. Senja di kota ini sungguh ramai, ya kota tempatku jatuh saat ini.
“ Sh*t! I can’t go! Ya, ya, it’s rain and I’m trapped!”
Seorang perempuan berambut blonde memegang ponsel sambil mendongak ke atas, ke arahku yang tak peduli betapa aku telah menunda rencana indahnya untuk bertemu dengan seorang pemilik kongsi bisnis terbesar di negeri ini. Oh, pardon me, aku hanya melakukan apa yang langit titahkan padaku. Come on, uangmu banyak Nona, seorang anak kecil yang menawarkan ojek payung itu tak akan membuat kantongmu kering! Aku mendesah, menyusur talang-talang air berwarna putih ke bagian lain bangunan berdidining kaca tebal.
“ Ya, ampuuuun! Kenapa sih hujan terus?! Kemarin hujan, sekarang hujan!” baiklah aku mendengar suara itu dari sini. Seorang anak muda berusia belasan tahun yang tengah menjejalkan potongan roti bersaos dengan garpu mengumpat sebal sambil melihat ke luar. Ouuups, dia lupa memindahkan garpu ke tangan kanannya. Aku menyeringai, getir. Ah, Tuhan hanya ingin menyirami bumi gersang ini, dengan rahmat yang bisa dilihat oleh sebagian orang. Kulanjutkan perjalananku, ke muara talang. Sebentar lagi aku terjatuh, entah aku tak tau ke mana aku berharap aku tak jatuh di selokan hitam, bau, dan penuh sampah. Aku menikmati perjalananku, berselancar di lorong sempit dan....Oh! Aku mendengar bisik itu, sungguh aku mendengarnya! Seorang pemuda berkaos merah kombinasi oranye dengan simbol outlet ini menyentuhku sesaat setelah ia melempar topinya di kursi! Ia meletakkan tangannya di bawahku, menatapku dengan kelembutan. Tersenyum sebentar lalu membiarkanku menyusuri lekuk wajahnya, dalam sebuah rangkaian yang indah. Sesudahnya, aku tau ia mendongak ke langit, membisikkan sebuah doa yang akan kuantarkan ke langit...
#
Aku Narator.
Seorang perempuan berambut blonde itu keluar dari sebuah outlet makanan khas Itali sambil meletakkan ponselnya di telinga. Highheels- nya klotak-klotak beradu dengan lantai marmer yang mengkilap lalu berdiri tepat di depan pintu masuk. Ia menunggu seseorang mengangkat teleponnya.
“ Hello, Sh*t! I can’t go! Ya, ya, it’s rain and I’m trapped!” Ia melemparkan gumpalan tissue ke tempat sampah lalu meneruskan pembicaraan. Hanya tiga menit, perempuan itu menutup ponselnya lalu memandang sebal pada rerintik hujan yang mencipta tampias ke hadapannya. Sesekali ia mendongak ke langit, mulutnya komat-kamit tak jelas. Ya, hari ini ia dijadwalkan bertemu dengan seorang pemilik kongsi bisnis terbesar di negeri ini, tepat pukul 18.00, tapi sayang dia sudah terlambat lima belas menit karena hujan ini. Taksi yang dua puluh menit yang lalu diteleponnya pun belum datang: penuh, begitu kata seorang operator di ujung telepon. Ia terlalu malas untuk sekadar memanggil seorang ojek payung lalu naik busway. Ia terus berusaha mengubungi seseornag. Sementara itu di sudut lain outlet makanan, seorang gadis belasan tahun duduk menghadapi pan-nya.Tangan kananya memgang pisau, sementara tangan kirinya mencengkeram garpu, mulutnya penuh, sedikit belepotan oleh saus tomat. Sesekali ia melirik ke luar.
“ Ya, ampuuuun! Kenapa sih hujan terus?! Kemarin hujan, sekarang hujan!” tangan kirinya aktif bergerak, memasuk-masukkan potongan roti tanpa etika. Ia terlihat begitu sebal pada hujan senja ini, meski kesebalannya tak mengurangi nafsu makannya. Kali ini ia memanggil seseorang, memesan minum lagi. Seorang waiter mendekat lalu mencatat apa yang ia katakan, hanya beberapa detik saja. Waiter itu mengangguk lalu menyerahkannya ke dapur. Pemuda itu sendiri berjalan ke bagian belakang outlet. Ia menatap jam di pergelangan tangannya di tempat wudhu. Ia hanya memiliki waktu lima belas menit untuk shalat sementara tempat wudhu itu begitu sesak. Ia meletakkan topinya di sebuah kursi lalu menuju pintu belakang outlet. Ditatapnya iar hujan yang tumpah ruah dari talang air. Ia memjamkan matanya sejenak lalu mulai menampung tetes air hujan itu dengan tangannya, membasuhkannya ke angan dan wajahnya dalam sebuah rangkaian yang indah. Ia tersenyum sesudah prosesi itu selesai. Ia menatap langit yang gelap, lalu ia membisikkan sebuah kecil di sana: agar seseorang mengangkatkan jemuran bajunya di kontrakan dan sebuah doa yang disimpannya dalam hati untuk dua orang hebat dalam hidupnya: bapak dan ibu. Ia tahu, hujan akan mengantarkannya ke langit.
#
Aku lelaki.
Aku membersihkan meja nomor 15. Pengunjung meja ini baru saja beranjak keluar, seorang perempuan berambut blonde. Ah, gaya bicaranya aneh sekali, seperti pemain sinetron siapa ya? Pikirku sambil menyemprotkan cairan pembersih ke permukaan meja. Aku mengambil lap bersih yang lain untuk menyempurnakan kebersihan meja ini. Letak tempat tissue kubenarkan letaknya sebelum akhirnya aku mundur ke belakang. Ramai, outlet makanan Italia tempatku bekerja ini selalu ramai setiap harinya. Aku melirik jam tangan murahan yang kubeli dari uang yang kusisihkan sedikit demi sedikit dari gajiku. Seorang pengunjung memanggilku dari kejauhan, aku mengangguk ramah lalu mengambil kertas dan buku menu. Cepat aku menghampiri pengunjung itu, aku tak ingin mereka menunggu.
“ Minumnya?” aku bertanya.
“ Orange Float.” Jawabnya. Aku mengangguk lagi lalu beranjak ke dapur. Suara adzan terdengar dari sela-sela berisiknya hujan di luar sana,menembus celah pintu kaca tebal di depan. Aku segera membawa pan-pan yang pengunjung itu pesankan, ya agar aku bisa segera shalat maghrib. Setelah menyelesaikan order meja 27 aku segera berjalan ke bagian belakang outlet ini. Di sana ada sebuah mushala kecil dan tempat wudhu yang juga kecil. Tanganku cepat melepas topi, tapi...
“ Meja 9.” Seseorang mengingatkanku. Aku urung melepas topi lalu menuju ke meja 9, tempat seorang gadis duduk meghadapi pan yang hampir tandas. Mulutnya penuh dan ada beberapa tetes saus tomat di sana.
“ Teh botol satu.”
Aku mengangguk, syukurlah gadis ini tidak memesan macam-macam, sebotol teh cukup diambil dalam waktu bebrapa detik saja, aku harus segere shalat. Adzan di luar sana sudah tak terdengar, tertelan derasnya hujan. Aku meletakkan sebotol teh di meja 9 dengan sopan lalu bergegas ke belakang. Penuh. Tempat wudhu itu penuh. Waktu shalatku hanya lima belas menit, aku segera menuju pintu belakang outlet. Deras. Aku meletakkan tanganku di bawah talang air yang menumpahkan air hujan. Membasuh wajahku pelan-pelan. Aku masih berdiri di sana setelahnya teringat jemuranku di kontrakan.Ah, semoga ada yang mengangkatkannya. Aku masih menatapi tetsan hujan itu, membisikkan doa pelan-pelan untuk bapak dan ibu di rumah: agar Allah menjaga mereka dengan cinta.


Jumat, 11 Maret 2011

Bimo dan Burung kecil

Bimo dan Burung Kecil
Sepulang sekolah, Bimo meletakkan sepedanya di teras samping dan menguncinya. Bimo lalu melepaskan melepas sepatunya di teras depan sambil bersiul kecil. Ketika ia tengah asyik melepas ikatan tali sepatu, ia melihat seekor burung kecil tak jauh dari tempatnya duduk. Burung itu tengah meloncat-loncat di antara rumput-rumput kecil berbunga halus di halaman rumahnya. Bimo terus memperhatikan burung kecil itu, ia bertanya dalam hati: apa yang sedang dilakukannya? Tak lama burung itu terbang dengan sebatang bunga rumput di paruhnya. Rupanya burung kecil itu tengah membuat sarang dari bunga rumput. Bimo melihat ke atas, mengawasi ke mana burung itu bersarang sampai suara panggilan Bunda terdengar dari dalam rumah.
“ Bimooo, ayo ganti baju dulu, Nak...”
“ Iya, Bunda....”
Cepat Bimo berlari masuk ke dalam rumah lalu mengganti bajunya. Sesudah berganti baju dan makan siang, Bimo kembali duduk di teras depan. Dia masih ingin melihat burung kecil itu. Kali ini ada dua ekor burung kecil di antara rerumputan. Sama seperti tadi, dua burung itu bergantian mematahkan bunga rumput lalu menjepitnya di paruh mereka dan terbang ke atas pohon.
“ Ahaa, sekarang aku tahu di mana sarang burung itu!” Bimo bergumam sambil mengawasi si burung. Rupanya, burung itu tinggal di antara dedaunan pohon sawo di dekat teras samping rumah Bimo. Sarangnya terlihat dari bawah. Bimo yakin di sarang itu ada beberapa telur burung atau bahkan anak burung yang baru menetas.
“ Mereka pasti lucu-lucu.” Bimo berkata lirih.
Hari ini hari Minggu, itu berarti sekolah Bimo libur. Dari pagi Bimo menunggu di bawah pohon sawo dengan sebuah galah di tangannya. Ia akan emngambil sarang burung itu dan memilhara anaknya. Bunda baru pulang dari pasar saat Bimo mulai mengarahkan galahnya ke sarabg burung.
“ Bimo, sedang apa kamu?” tanya Bunda.
“ Di atas sana ada sarang burung, Bunda. Bimo akan memelihara burung.” Jawab Bimo senang.
“ Tapi nanti induk burungnya kehilangan anaknya, sayang. Induknya pasti sedih.” Bunda mengambil galah yang dipegang Bimo.
“ Tapi kan Bimo mau memliharanya, Bunda. Bimo tidak mau membunuhnya kok, pasti induk burung senang dan berterimakasih pada Bimo.” Ia membela diri.
“ Bimo, induk burung itu pasti lebih tau bagaimana cara merawat bayi burung daripada manusia. “ ujar Bunda bijak. Bimo mengalah lalu membiarkan Bunda mengambil galahnya. Akan tetapi, keesokan harinya, sepulang sekolah saat Bunda sedang memasak di dapur, Bimo kembali berusaha mengambil anak burung itu. Dan, berhasil! Dua ekor anak burung yang masih jarang bulunya itu jatuh di depan Bimo masih bersama sarangnya. Bimo girang mengambil anak burung itu dan meninggalkan sarangnya di bawah pohon sawo. Sayangnya, Bimo menemukan anak burung itu mati pagi harinya. Bimo lupa meletakkan tempat burung ittu di atas meja hingga si Belang, seekor kucing liar sudah memakan sebagian tubuhnya. Anak burung yang lain ternyata juga telah mati. Sementara itu, induk burung terlihat terbang ke sana ke mari di atas pohon sawo, sepertinya ia kebingungan mencari anak-anaknya.
@@@
Seminggu kemudian, Bunda mengajak Bimo ke sebuah pameran buku. Bimo senang sekali karena di sana ada banyak buku untuk anak-anak. Bimo sibuk memilih-milih buku di sebuah meja yang menjual buku tentang dinosaurus. Bimo tidak sadar kalau Bunda sudah berpindah meja, sampai bebrapa waktu kemudian ia kebingungan mencari Bundanya. Ia berjalan pelan-pelan menyusuri lorong di antara rak-rak buku yang ramai mencari Bunda. Tapi sayng ia belum juga menemukan Bunda sampai kemudian ia menangis. Seorang kakak laki-laki menanyainya.
“ Kenapa kamu menangis?”
“Bunda nggak ada...Bimo bingung nyariin Bunda.” Bimo berkata sambil sesenggukan. Kakak yang baik hati itu lalu menggendong Bimo yang masih tetap memangis sambil memanggil-manggil Bunda. Bimo rupanya diajak ke bagian informasi. Di sana Bimo bertemu dengan Kakak berjilbab yang menanyai Bimo.
“ Siapa namanya, Adek?”
“ Bimo.”
Ia lalu memabantu Bimo memanggil Bunda dengan pengeras suara. Tak lama kemudian Bunda datang. Ternyata Bunda hanya ke kamar kecil sebentar. Bunda juga panik saat mengetahui Bimo tidak lagi ada di penjual buku anak-anak. Bimo memeluk Bunda masih sambil menangis.
“ Sekarang Bimo tau kan bagaimana rasanya anak burung yang jauh dari induknya?” Bunda bertanya sambil memegang bahu Bimo. Bimo mengangguk sambil menghapus air matanya.
“ Anak burung itu pasti sedih dan ingin bertemu dengan induknya, begitu juga induk burung yang jauh ingin bersama anak-anaknya.” Bunda melanjutkan sambil menggandeng tangan Bimo keluar dari tempat pameran. Dalam hati, Bimo berjanji tidak akan mengambil anak burung dari sarangnya di atas pohon. Bimo juga akan melarang semua teman-temannya yang akan mengambil anak burung itu.