Minggu, 12 Desember 2010

Langit Hati ( Sebuah cerita)


(Kau tidak bisa berhenti mempercayainya, tak lagi mendengar kata-katanya, hanya karena ia mencintai...)
Maka ia kini duduk di depan netbooknya, mengencangkan letak modem di tempatnya sebelum akhirnya membuka homepage di situs jejaring sosial. Sebentar ia membaca tulisan-tulisan di sana, curhat teman-temannya. Tidak tertarik memberikan komentar, ia menuliskan nama seseorang di kolom search. Nama yang lain, nama lelaki itu, yang selalu ia sempatkan untuk ia lihat setiap kali ia membuka situs ini. Dibacanya apa yang tertulis di homepage yang kini terbentang di hadapannya. Tak juga meninggalkan komentar, ia mengklik icon photos. Menikmati gambar pemilik situs tersebut, satu per satu. Ia tak ingin meninggalkan komentar di kolom yang seharusnya, ia justru kembali ke halamannya sendiri dan menuliskan apa yang berputar di otaknya di kolom status. Ia menarik napas panjang, lalu menyandar di kursi. Sebuah getaran halus membuyarkan lamunannya. Diliriknya sesaat.
Assalamu’alaikum, para pejuang pena yang dirahmati Allah, hari ini bertemu di....
Belum selesai ia baca, bergegas menyambar jilbab di balik pintu dan berlari ke luar kamar kosnya yang sepi, menyusuri sepanjang Jalan Flora yang berangin dan bergabung dengan teman-temannya. Sebuah diskusi ringan digelar, tentang tulisan, tentang Islam, dan tentang cinta...
##%##
Tempat yang sejuk tetapi sepi. Lelaki itu bersama rombongannya sedang mengikuti ritual yang harus ia lakukan pagi ini. Mengikuti seorang instruktur , berjalan-jalan menyusuri tepian bukit yang licin. Ia menarik napas dalam-dalam seperti yang instruktur perintahkan. Sesaat rombongan kecil itu berhenti, ia juga. Ia duduk di atas batu besar, tangannya sibuk memilih angle dengan kamera SLRnya. Ia tersenyum sedikit setelah mengambil beberapa gambar. Angin pagi bertiup pelan, mengacak rambutnya. Suara instruktur yang memanaggilnya membuatnya berdiri lalu berlari kecil ke arah rombongan yang sudah meningglkannya beberapa meter. Ia terlihat tertawa-tawa dan bercerita dengan teman-temannya, melupakan sepinya, melupkan sakitnya.
Sanatorium itu terlihat sepi, ketika rombongan kecil memasuki gerbang depan. Gerbang depan itu terbuat dari kayu sepenuhnya, menimbulkan kesan bersahabat dengan alam. Juga batu-batu sebesar biji salak yang ditata di halaman. Rombongan itu berpencar, menuju ke kamar masing-masing. Begitu juga dengan lelkai yang kini berdiri di dekat jendelanya yang luas. Membuka kordennya lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari pagi yang ramah menyentuh permukaan kulitnya yang bersih. Dia menatap nampan berisi sarapannya pagi ini, juga dengan sebuah cawan kecil berisi beberapa butir obat. Ia belum ingin meminumnya. Ia sedang ingin kembali ke kota itu. Kota tempatnya menghabiskan dua tahun sesudah sekolah menengah atasnya, sesudah ia berhasil menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Ia merindukan teman-temannya. Merindukan sebuah undangan dengan  potongan ayat, juga merindukan alat-alat laboratoriumnya yang sudah setengah tahun ini ia tinggalkan. Kau tau,sungguh ia mulai rindu...
Kalau kau tengah berada di sampingnya kini, kau pasti ingin memanggilnya, memintanya untuk berhenti bersedih dan berjanji tiak akan pernah meninggalkannya. Dia terlalu baik, dia sungguh terlalu baik untuk sekadar merasakan sakit. Tapi ini urusan Tuhan, Dia lebih berhak dari pada hati dan perasaan tegamu.
##%#
Dua tahun sebelumnya...
Gadis itu berdiri,bersandar pada tembok pagar sekolah yang kokoh.Ia  memasukkan satu tangannya ke dalam saku roknya yang berumbai, lalu menatap lelaki itu dari jauh. Lelaki itu sibuk menulis di whiteboard, membuat bagan-bagan sederhana sambil sesekali tersenyum pada anak-anak yang duduk memperhatikan di bangku murid. Tangannya terus bergerak, kali ini ia menulis judul baru. Langit sore memerah. Gadis itu berhenti memeperhatikan, ia menali sepatunya yang terlepas lalu tersenyum sekali dan meninggalkan halaman sekolahnya yang sepi. Sayup-sayup ia masih mendengar suara lelaki itu, tertiup angin. Ringan ia berjalan, bukan hanya karena ia mengagumi orang yang tepat, tapi karena sepertinya ini untuk pertama kalinya ia mengagumi seseorang. Kemarin, ia sempat berbicara dengannya, hanya bebrepa kalimat, kalimat yang disimpannya dalam hati, sampai hari ini, sampai kapanpun.
Setengah jam sesudahnya lelaki itu keluar dari ruang kelas, lalu menuju mushola sekolah yang sepi. Menemui Tuhannya dalam sebuah sujud panjang berjeda. Mengucapkan doa-doa yang dibawa udara sampai ke langit. Hanya lima belas menit, ia lalu keluar dan menuju Polygonnya. Menysuri langit yang memerah. Menemukan Venus dan menjabarkan Saturnus di langit barat. Mengucap beberapa kalimat indah lalu mengayuh sepedanya cepat. Jaketnya melambai pelan, terkena efek laju sepedanya.
##%##
Lelaki itu menyalakan laptopnya, lalu membuka Google. Mengetikkan kata “Indonesian Astronomy” di sana. Ia menunggu, lalu membuka tab baru dan membuka situs jejaring sosial miliknya. Menuliskan apa yang ada di hatinya. Ia melihat beberapa nama berbulat hijau di kolom chat, lalu memilih satu nama. Sahabatnya di kota itu. Mengawali pembicaraan dengan salam dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Ia beralih ke halaman Astronmi lalu membuka-buka hal baru. Menemukan orang yang sama yang menyukai halaman itu. Ada nama gadis itu di sana. Lelaki itu berpikir sebentar, mungkin adik kelasku. Ia bergumam sendiri. Sebuah ketukan di pintu membuatnya bersuara. Seorang perawat mengantarkan obat lagi. Lelaki itu tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.
            “ Ibumu tidak datang minggu ini, Za?” perawat itu bertanya rmah sambil memungut beberapa remasan kertas di lantai.
            “ Mungkin sibuk, jadi tidak bisa datang. Toh sudah datang minggu lalu, ya kan?” lelaki itu menjawab ringan lalu kembali sibuk berselancar di dunia maya.
            “ Teman-temanmu?” perawat itu bertanya lagi. Kali ini ia menyodorkan segelas air putih.
Lelaki itu teridam sebentar, lalu melihat ke kalender akademik dalam bentuk soft file dari universitas kebanggaannya.
            “ Ah, ini saatnya mereka ujian. Tidak ada waktu untuk bermain-main...” ia tertawa sendiri, “ Boscha, jauhkah dari sini?” ia bertanya. Perawa itu berpikir sebentar.
            “ Kau punya teropong bintang bukan? Naiklah ke atas bukit di depan sana, tak kalah dengan Boscha...”ucapnya sambil menutup pintu dan tersenyum. Lelaki itu terbatuk kecil, lalu meneguk air di gelasnya. Ia bersandar di kursinya, menerawang. Totalitas rindu itu terkumpul sekarang. Ingin menangis, tapi ini keputusan yang sudah dibuatnya. Apa kau pernah merasakan posisinya? Posisi memilih yang keduanya terasa menyakitkan. Ia ingat benar tiga bulan yang lalu seorang perawat mengantarkan sebuah brosur tentang sanatorium ini.
            “ Kau tak perlu pergi ke sana, sayang. Istirahatlah saja di rumah...” suara ibunya masih terdengar jelas di telinganya. Menggaung. Ia menggeleng mantap lalu meminta sebuah pena dari tangan ayahmu, menyetujui sebuah perjanjian, keputusanmu memilih santaorium ini.
            “ Aku akan sembuh, Ibu. Aku pasti sembuh dengan izin Allah. Bukankah Ibrahim dulu juga jauh dari anaknya, Ibu? Maka biarkan aku mencintai Allah, karena Ia telah memberiku segalanya, dengan keinginanku untuk sembuh.”
Mantap ia ucapkan kailmat itu dan seminggu kemudian ia sampai di kota ini, di tempat sepi ini. Untuk pertama kalinya, ia menangis, bukan karena jauh dari ibunya, ah dia lelaki kuat, bukan karena ia harus cuti dari kuliah yang menghadiahkannya indeks prestasi empat bulat di semester pertama, bukan juga karena ia merasa terkucil karena sakitnya.. Ini lebih karena sesalnya, merasa tak pandai menjaga amanah Allah.
            “ Aku tidak menyesal...” gumamnya. Ia melanjutkan membuka-buka Indonesian Astronomy, lalu menyelami semuanya dengan hati. Ya, jika aku boleh jujur dan bercerita paamu, dia juga pernah merasakan keputusasaan, meski tak lama. Menunjukkan bahwa ia adalah manusia bumi biasa.
## %##
            Di kota yang sama tempat ia pernah berada, gadis itu juga tengah membuka situs jejaring sosialnya, lalu menemukan sebuah nama yang sangat ia kenal, lelaki itu, dalam posisi on line. Ia mengetuk-ngetuk pinggiran mejanya, menimbang. Ingin menyapa, tetapi hatinya menolak. Ia mengeklik nama lelaki itu, sedetik kemudian sebuah kotak chatting terbuka lebar. Sebuah garis hitam berkelap-kelip, menunggu dijalankan. Lama, gadis itu tidak meneluskan sesuatu di sana. Dibiarkannya kotak itu terbuka lebar selama tiga menit. Sesudahnya ia mnyusun huruf-huruf di keyboard netbooknya, menyusun kata salam.Tak ada uapaya menekan tuts enter, ia justru memilih tanda silang di pojok kanan atas. Ia merasa cukup hanya dengan melihat nama lelaki itu. Ia pasti melihat namaku di sana, pikirnya. Dibukanya lembar notes,sekadar bercerita. Tak lama ia memutuskan untuk menutup lembar pribadinya itu, setelah menuliskan berapa kalimat di kolom yang seharusnya: karena kagum itu nyaman menikmati dari kejauhan, karena kagum itu berbeda dengan mencintai. Beberapa detik kemudian bebrepa orang meninggalkan komentar di bawahnya, tapi ia tak peduli.
##%#
Tugas kampus dan tentang tulis menulis. Gadis itu memilih sebuah perusahaan teh di Jawa Barat sebagai objek penelitiannya, sebuah observasi. Bukan hanya ia terobsesi untuk memiliki beberapa hektar kebun teh di sana, tapi juga ia memiliki banyak ide untuk cerita-cerita yang akan ia kirimkan ke beberapa majalah. Ia sama sekali tak memikirkan lelaki itu, kekagumannya mungkin berhasil ia lupakan sejanak meskipiun ia masih sering merasa bahwa ia begitu ingin menyapa lelaki di sana. Lelaki yang kini susah payah melawan sakitnya, meminum berbutir-butir obat dengan nama Allah demi kesembuhan sakitnya. Meyakini sanatorium bukanlah tempat yang membuatnya merasa terkucil, meskipun kenyataannya dia harus jauh dari keluarga. Gadis itu memasukkan semua yang ia perlukan dalam sebuah tas besar, sebelum akhirnya melesat dengan kereta malam ke kota itu.
##%##
Sejuknya mungkin tak pernah ia temukan di sana. Tapi sepinya pun luar biasa. Lelaki itu membuka ponselnya, menemukan beberapa pesan masuk. Sebuah bujukan untuk melakukan pengobatan di dekat keluarganya saja, karena bagaimana pun support itu penting. Ia hanya tersenyum lalu menekan tombol reply dan mengucapkan terimaksih. Kau tau, ia terlihat begitu tegar. Tempat ini tak seburuk yang kau kira. Begitu kira-kira arti tatapan matanya.
Maria, ingat? Dia mati mungkin bukan karena sakitnya, tapi karena ia kesepian. Sebuah pesan yang lucu dari salah satu sahabatnya,sahabat yang paling bisa membuatnya tertawa, mengingatkan tentang tokoh Maria di sebuah roman. Ia lagi-lagi tersenyum dan membalas pesan itu dengan jawaban ringan pula.
Ah, itu karena STA tidak ingin bersusah payah mnjodohkan Yusuf dengan Tuti. Percayalah, aku akan kembali ke kota itu dalam keadaan paling baik yang pernah kau tau.
Ia menekan send masih sambil tersenyum.
Dia tidak ingin lebih banyak membalas pesan-pesan itu, ia kini memutuskan untuk keluar dan bergabung bersama rombongan kecilnya sore itu. Mereka kan berjalan-jalan ke sebuah danau kecil di dekat pemondokan itu. Satu rombongan itu akan bercerita banyak hal, bukan saja karena mereka mengidap penyakit yang sama tetapi karena mereka memang seusia. Mereka bercerita tentang cinta, pada bagian ini lelaki itu memaknainya  lain, atau bercerita tentang hidup, bagian ini lelaki itu berhasil menyikapinya dengan bijaksana.
##%##
Karena kagum itu akan terbawa kapan saja. Gadis itu menyusuri tepian perkebunan teh dengan mobil perusahaan tempatnya melakukan penelitian lalu matanya terpagut pada serombongan kecil pejalan kaki yang berbaris rapi dan mengikuti aturan napas dari sang instruktur. Mobil itu berhenti tak jauh dari rombongan kecil itu, tapi gadis itu menolak turun pun mmebuka kaca riben di sampingnya. Ia melihat dan menemukan lelaki yang dikaguminya dari spion mobil, menikmatinya dari jauh,karena ia yakin, ia begitu nyaman dengan dengan posisinya saat ini.
            “ Ada sanatorium di dekat sini?” ia bertanya pada pemandu di sampingnya. Bapak setengah baya itu mengangguk lalu menunjuk papan penunjuk arah ke sanatorium sepi. Gadis itu tersenyum, megumpulkan tekad. Tekad itu ada, tapi tak bercokol lama. Hari-hari berikutnya ia sibuk menulis dan menumpahkan idenya di lembar microsoft word. Ia ingat pada lelaki iu, tapi ia masih bertahan pada keyakinannya bahwa mengangumi itu tak harus mendekat. Seminggu berlalu, akhirnya gadis itu beranjak dari lembaran tugas kuliah dan lembaran kertas-kertas yang akan ia kirimkan ke penerbit. Ia memutuskan untuk mengunjungi sanatorium itu. Berdalih mengumpulakan ide baru, ia menyusuri tepian perkebunan teh sambil berjalan kaki. Hanya setengah jam, ia masuk lewat gerbang kayu, menemui resepsionis. Wanita cantik itu mempersilakan, sedikit ragu tapi ia boleh masuk juga.
Ia mengetuk pintu kamar kayu itu pelan-pelan, tak ada jawaban. Seorang suster ramah menyuruhnya untuk masuk. Ia masuk lalu menemukan laptop yang setengah trebuka, belum ter-shutdown. Ia mendekat. Detik berjalan lambat,selambat ia menemukan bercak merah di tepian meja. Selambat qori yang melagukan : Yaa ayyuhal nafsul muthmainnah,irji’uu ilaa rabbika raa diyatamardziyyah, wahai jiwa jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridha dan diridhai Allah...dari winnamp yang masih menyala.

3 komentar:

  1. saya sudah buka.. maaf ya belum bisa baca sekarang. sebenernya udah pengin masuk dalam duniamu, tapi belum tepat waktunya.. sukses!!!

    BalasHapus
  2. ziiii akhirnya ketemu juga ;p
    ooooo jadi ini toh yang ada di wall to wall kamu sama citra??
    baguuuusssss dehh..
    bikinin cerita dari kisahku dong ziii,hihihi

    BalasHapus
  3. @ceritaduapuluhtiga:Hahaha...aku tidak berani membuat ending untuk kisahmu yang luar biasa itu wul..hehehe
    @santi: okay tengkyu sibukerrr...

    BalasHapus