Kamis, 16 Desember 2010

Sun & Flower

Cinta adalah kesederhanaan
Terwujud dalam lima huruf sederhana
Bukan dia yang menghabiskan sepuluh dari dua puluh empatmu
Bukan dia yang meminta lima dari tujuhmu
Tapi dia yang memberi apa yang kau butuhkan
Tanpa kau pernah meminta

Menemukanmu dalam langkah yang berdebu, seperti menemukan setetes air dalam perjalanan panjang yang melelahkan karena kekeringan dalam kemarau panjang tanpa tepi atau menemukan selimut karena merasa sangat dingin ketika hujan turun dalam setengah hari. Bukan saja karena kau begitu tak sempurna justru karena ketidaksempurnaan itulah kau terlihat sangat sempurna. Hanya seorang gadis sederhana yang kutemui setiap hari dalam perjalananku. Melewatkan sepuluh menit tanpamu, seperti membiarkan seribu hari aku kehilanganmu. Meski aku harus terus menunggu dan ini seperti bertahan dalam kebodohan-ya selalu begitu mereka berkata padaku-aku tak akan pernah peduli. Tak akan ada yang berkurang dalam hidupku ketika aku harus menyiapkan sepuluh menitku setiap pagi untuk menunggumu, membantumu menyeberangi jalan Yos Sudarso yang ramai. Tak akan ada yang berkurang dalam hidupku ketika aku sudah menjalani itu semua selama hampir tiga tahun. Seperti pagi ini, aku masih berdiri di sini, di dekat jembatan penyeberangan, menunggu kedatanganmu. Aku merapikan jaketku, meski kau tak akan pernah mengagumi seberapa kerennya aku, seberapa tampannya wajahku, dan lagi-lagi aku tak peduli…
" Hai…" aku menyapamu dan kau mencoba menemukanku. Kau tersenyum padaku, meski aku sendiri tak yakin, benarkah itu untukku? Aku menggandeng tangannya dan menerobos jalan yang ramai. Mengantarkannya sampai ke gerbang sekolahnya di seberang jalan ini.
" Terimakasih…" kau selalu mengatakannya setiap kali aku melepaskan tanganku. Aku tak pernah berharap bahwa kau akan mengajakku berbicara lebih banyak lagi, menanyakan siapa namaku, sekolahku, rumahku, atau kau akan berusaha mengahafal wajahku dengan tanganmu. Aku tak pernah menginginkannya, aku sudah cukup bahagia dengan kesederhanaan yang kita miliki. Meski berjalan monoton, begitu dan begitu…Aku cukup senang dengan apa yang selalu kau ajarkan padaku, meski hanya berlangsung satu menit. Aku mengagumi segala apa yang ada pada dirimu, tentang ketabahanmu, juga tentang semangatmu, aku tak perlu mencari di mana kerapuhan itu, sebab aku tahu, kau bukan gadis yang rapuh...

***
" Apa sih yang kau suka dari gadis itu?" Firdi bertanya sambil menepuk bahuku. Aku menatap lurus-lurus ke arah gerbang sekolahnya.
" Semuanya..." mungkin jawabanku terlalu picisan tapi ini sungguh dari hati.
" Lalu sampai kapan kau akan terus menunggunya setiap pagi?"
Aku menggeleng.
" Bodoh! Kenapa bukan Lyra ketua cheers? Bukan Fani si otak encer dari kelas sebelah? Bukan Zahra ketua keputrian?" dia masih bersikeras untuk tau alasanku.
" Diam..." jawabku pelan tanpa melepaskan pandanganku dari pintu gerbang yang kini terbuka.
" Apa kau bisa pulang sekarang?" ucapku. Firdi memonyongkan bibirnya lalu memacu motornya menyusuri jalan yang ramai, membiarkanku sendiri. Aku bergegas menyeberangi jalan dan menunggunya di pintu gerbang.
" Hai..." sapaan yang biasa dan senyum yang biasa juga.
" Kenapa di sini?" dia menyakan ketidakbiasaanku di sini.
" Umm...hanya lewat...Mau pulang?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku meraih tangannya.
" Apa aku boleh mengantarmu pulang?" aku memberanikan diri.
" Tidak usah, terimakasih..." dia melepaskan tanganku lalu menyusuri jalan itu sendiri. Bukan aku, jika aku tak mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku terus berjalan mengikutinya, mengikuti ke mana arah berjalannya. Hhh...ini melelahkan tapi tak apa...
" Apa kau mengikutiku?"
Aku mengurungkan langkahku, apa yang akan kulakukan? Menjawabnya? Atau bertindak seolah aku tak ada?
" Kita hanya satu arah..." jawabku akhirnya. Kali ini aku menjajari langkahnya dan menggandeng tangannya. Ini hanya membutuhkan sepersekian detik untuk merasakan betapa hari tiba-tiba menjadi senja dan semuanya berubah menjadi seperti siluet yang menghitam. Ada sesuatu yang lain saat aku berada di sampingnya, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya, terlalu absurd untuk digambarkan apa lagi untuk diceritakan.
" Kau mau ke mana?" ucapnya setelah sekian lama.
" Uhmm…mungkin…ke…"
" Ke taman saja…"
" Oh ya, itu ide yang bagus…" aku berkata sambil menatap matanya, mata bening yang terlalu indah untuk tak melihat betapa indahnya dunia. Sebentar angin sore berhembus, meniupkan rasa yang pelan-pelan aku mulai tau maknanya. Perasaan itu memberi, bukan menerima, bukan menguasai tapi memiliki, bukan menaklukan, tapi saling melengkapi. Aku membenarkan letak tasku sebelum akhirnya membimbingmu lagi menyeberang jalan yang ramai menuju taman kota.
Sepi, hanya ada beberapa anak kecil dengan raket-raket mereka, bermain badminton sambil tertawa atau hanya burung-burung gereja yang berlari-lari di atas rumput. Aku menyandarkan bahuku pada bangku taman, lalu mulai menikmati perjalanan pertamaku bersamanya. Tak ada yang istimewa, tak ada bunga, tak ada cokelat, apa lagi makan malam yang romantis. Ini lebih mirip perjalanan persahabatan. Semuanya berjalan begitu saja, murni tak ada yang dibuat-buat, dan ini yang membuatku semakin yakin atas semua perasaan tak beralasan ini. Aku terlalu bingung untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: apa yang kusukai darimu? Karena siapa pun hanya akan menemukan kesederhanaan pada dirimu, dan justru itulah yang tak pernah kutemukan pada gadis lain. Lima menit kemudian kau bangkit dari dudukmu, menuju rerimbunan bunga matahari. Kau mengambil beberapa biji bunga matahari kering dan menyimpanannya di saku bajumu.
" Kau menyukai bunga matahari?" tanyaku. Dia mengangguk lalu tersenyum. Bunga matahari, bukan bunga yang harum, bukan simbol keromantisan, bukan…
" Karena bunga matahari begitu tegar..."
Ya, jawaban yang kubutuhkan, " Kenapa?", dan kali ini aku membutuhkan alasan.
" Karena dia selalu menatap matahari, dia menyukai matahari..."
" O ya..." aku menggantung kalimatku, apa ini Legenda Raja Matahari yang baru? Aku menggumam.
" Apa matahari menyukainya?" tanyaku akhirnya.
" Entahlah, dia terlalu hebat untuk dimiliki oleh setangkai bunga yang hanya bisa menuggu..."
***
Aku meraba saku jaketku lalu kutemukan biji berwarna hitam itu. Kupandangi satu per satu untuk selanjutnya kusimpan dalam kotak berwarna biru. Sebentar aku berpikir untuk sekadar menyimpaannya lalu detik berikutnya aku memutuskan untuk menanamnya di bawah jendela kamarku. Karena bunga matahari itu begitu tegar, karena bunga matahari adalah penunggu yang tak pernah bosan. Begitu pun aku, selalu berusaha untuk tegar, apa pun yang akan terjadi padaku, aku bukan lelaki lemah, bukan…aku juga bukan lelaki yang selalu berjanji, bukan karena takut mengingkari, tapi justeru aku terlalu takut untuk menepati, takut ketepatanku tak sesuai dengan apa yang kujanjikan. Aku bukan lelaki bodoh yang mengejar wanita-wanita bodoh, bukan…aku bukan lelaki sempurna yang mengejar wanita sempurna, aku mengejar wanita yang tak sempurna, agar aku berkesempatan melengkapi apa yang tak dimilikinya…jika dia hanya memiliki separuh hati, maka akan kulengkapi untuk jadi sebentuk hati, pun jika dia tak memiliki mata, maka aku siap untuk menjadi matanya…Terakhir, aku berjanji untuk tidak akan menangis…
" Selesai…" gumamku sambil membersihkan sisa-sisa tanah di tanganku. Aku berhenti sejenak, menatap telapak tanganku, telapak tangan yang selalu menggandengmu setiap pagi, adakah kau ingat semua ini?
***
" Siapa namanya?" Firdi bertanya sesudah menghabiskan separuh dari teh botolnya.
" Siapa?"
" Siapa lagi, gadis itu..."
" Entahlah..." jawabku ringan. Firdi terlihat kecewa dengan jawabanku, tapi aku tak peduli. Nama? Ya sesuatu yang tak pernah kutanyakan sebelumnya. Bagiku, ini bukan sesuatu yang harus diributkan.
" OK. Tapi, kali ini kau harus tahu: sampai kapan kau akan menjadi pahlawan baginya?"
Ini pertanyaan Firdi yang sangat membosankan, " Selamanya..." jawabku tanpa berpikir lalu meninggalkannya sendirian. Aku berjalan menuju perpustakaan sekolah dan memilih untuk menghabiskan waktu istirahatku di sana.
" Yang tadi pagi itu lumayan..." satu suara sinis membuatku menoleh. Dia Lyra. Aku tak menjawab sambil melanjutkan membaca.
" Cukup cantik, tinggi, sedikit kuno, dan..." suaranya menggantung.
" Dia buta..." ucapku ringan sambil melemparkan buku ke rak di sampingku. Kenapa semua orang meributkan hal-hal yang bukan menjadi urusannya? Ini sangat menjijikan...
" Tunggu!" suaranya mencegahku. Aku berhenti tanpa menoleh.
" Apa kau berpikir untuk menyukainya?" lanjutan kalimatnya sugguh menyebalkan.
" Mungkin..." jawabku pendek lalu meninggalkan gadis itu. Kali ini aku benar-benar muak dengan semuanya. Ini hidupku dan aku yang berhak menentukan hidupku sendiri, bukan mereka...
***
Langit mendung dan aku berlari sepulang sekolah. Aku memebenarkan kancing jaketku ketika kurasakan angin berhembus lumayan dingin. Sore ini aku memutuskan untuk libur dari eskulku, basket. Eskul yang katanya milik anak-anak keren, tapi nyatanya tak kutemukan hal keren pada kelompok basketku meski banyak orang bilang bahwa kami bermain sangat hebat, tapi menurutku biasa saja. Aku mempercepat langkahku ketika gerimis mulai turun dan bau debu jalan mulai menguap ke udara. Hujan pertama kali setelah musim kemarau panjang tahun ini. Hujan sempurna turun dan aku memutuskan untuk berhenti di emperan toko. Tidak banyak orang di sana, hanya ada beberapa anak-anak seusiaku dari sekolah lain. Bau basah semakin tercium ketika air semakin tertumpah dari langit. Emperan toko ini mulai ramai, dan lihatlah…gadis itu! Dia berjalan dengan tongkatnya, bajunya basah kuyup! Aku mencoba meraihnya agar berjalan lebih cepat dan mendapatkan tempat untuk berteduh di anatara orang-orang yang berjejal.
" Terimakasih…" selalu saja terimakasih, padahal ini hanya aku, ya hanya aku...
" Dari mana?"
Dia mencoba mencariku setelah mendengar pertanyaanku.
" Beli biji bunga..." dia membuka genggaman tanganmu dan aku memukan kantong-kantong kecil di sana. Beberapa detik kemudian kau memasukkannya ke dalam saku baju hangat sebelum akhirnya melipat tanganmu. Sepertinya kau sangat dingin. Aku membuka jaketku lalu memberikan padamu tanpa bicara.
" Tidak usah..." dia menepis tapi aku tak peduli. Satu jam dua puluh tiga menit. Hujan belum juga reda, dan sepertinya orang-orang sudah mulai bosan untuk menunggu. Mereka memutuskan untuk berlari menembus hujan dari pada menuggu hujan yang entah kapan akan reda. Kini hanya tinggal kami berdua di sini. Aku menatap kaca toko yang mulai berembun. Aku menggambar sesuatu di sana.Menggambar matahari.
" Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya.
" Oh..aku hanya meggambar. Kau mau?"
Dia mengangguk, lalu aku meraih tangannya, membimbingnya.
" Apa yang ingin kau gambar?" tanyaku.
" Kau?"
" Aku menggambar matahari…"
" Kalau begitu, bunga…bunga matahari…"
Kami terus menggambar, memenuhi pintu toko, tak peduli dengan tatapan heran pemilik toko di dalam sana. Hujan belum juga reda. Kami mulai bosan menggambar. Aku kini berjongkok, mengamati air yang mengalir...
" Apa kau bisa membuat kapal kertas?" ujarku. Dia mengangguk, lalu mengambil beberapa kertas dari tasnya. Dia membuat kapal kertas dan aku meletakkannya di atas air hujan yang mengalir. Membiarkan benda-benda mungil itu berjalan sendirian mengikuti aliran air...
" Apa kapalnya sudah jauh?" tanyanya setelah sekian lama.
" Ya...dia sudah pergi ke tempat yang dia inginkan..."
" Ke mana?"
" Laut..." jawabku pelan. Aku tau dia mulai bingung dengan jawabanku, lalu tersenyum. Hujan belum reda ketika petang mulai menjelang, sementara toko di belakang kami sudah sempurna tutup, tapi sepertinya dia tak mengenal petang, baginya setiap saat adalah gelap, yang kutau dia begitu merindukan matahari...Hingga akhirnya sebuah mobil menjemputnya, meninggalkanku yang kini berjalan di bawah gerimis dan hari yang telah berubah malam...
***
Pagi yang muram, setelah hujan sejak kemarin sore dan tadi malam. Aku membuka pintu gerbang rumahku dan mulai berjalan menuju tempatku menuggu. Hhh...kemarin sore adalah hujan yang tak pernah kulupakan...Aku melangkah riang sambil memutar-mutar gantungan kunci yang tadi kutemukan di depan gerbang. Ya, hari ini pasti akan lebih indah...Aku terus berjalan samapai akhirnya aku berhenti di dekat jembatan penyeberangan itu. Menunggu.
Lima menit berlalu, tak ada sesuatu pun yang menarik. Kau belum juga datang, padahal seharusnya aku tak perlu menuggu lama. Aku sedikit berbinar ketika seperti melihat sosokmu dari kejauhan, tapi ternyata itu bukan kau. Aku membantu gadis kecil itu menyeberang dan kembali lagi ke sini, menunggumu hingga jam tujuh hanya menyisakan waktu lima menit untukku berlari ke sekolah.
Kupikir, kau sakit hingga kau tak berangkat ke sekolahmu dan besok pagi pasti sembuh kan? Hari ini lewat begitu saja, tanpa kau...Hari ini aku tak mendengar kata terimakasih dari mulutmu...Hari ini aku sendiri, hari ini aku merasa kehilangan...
***
Berharap bahwa pagi ini aku akan menemukanmu sepertinya bukan harapan yang terlalu tinggi. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya dan menunggumu lagi. Sepuluh menit, tak ada kau. Aku memejamkan mata dan menghitung sepuluh ketukan dalam hati, berharap setelah ketukan itu selesai, aku akan melihatnu berdiri di mukaku. Sepuluh pertama gagal. Aku memejamkan mata lagi kali ini dua puluh. Tak ada kau. Ok, ini kali ketiga aku menghitung hingga ketukan ke tiga puluh dan....ya seorang gadis berdiri di sana, aku meraih tangannya meski itu bukan kau...Aku memutuskan untuk memejamkan mata lagi dan menghitung hingga seratus ketukan, dan ketika aku membuka mata...kosong...hanya ada kertas reklame bodoh yang tertempel dalam kurun waktu seratus ketukan tadi...
***
Hari seperti berlari, meninggalkan jejak langkah bagi siapa saja. Ada yang bersembunyi dari waktu yang terus berjalan atau bahkan ada yang memutuskan untuk ikut bersamanya, seperti aku yang selalu mengisi hari-hari dengan harapan, harapan bahwa kau akan muncul di hadapanku. Aku berdiri di dekat jendela kamarku dan menatapi biji-biji matahari yang mulai tumbuh setelah dua minggu kutanam. Lihatlah warna hijau di ujung bijinya, terlihat begitu segar, seperti sebuah semangat baru. Mungkinkah itu berarti bahwa pagi ini aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan? Aku meraih tasku lalu mulai menyusun apa yang akan kulakukan pagi ini. Yang jelas, aku masih akan menunggumu...Dan aku masih tetap menunggu hingga seorang nenek tua datang dan aku menggandeng tangannya. Dia mengucapkan terimakasih dan tersenyum padaku, persis seperti kau, tapi bukan kau. Aku hanya tersenyum sambil berbalik. Aku kembali memejamkan mata...menunggu...
Satu....dua...tiga...empat....dua puluh tujuh...dua puluh sembilan...tiga puluh tiga...empat puluh enam...lima..puluh...tu...
Aku hanya mendengar satu teriakan keras dari sisiku, satu ledakan, untuk selanjutnya hanya gelap...Tak ada cahaya di sini...
***
Pelan-pelan aku membuka mataku, menemukan isak tangis ibuku di tepi tempat tidurku, menemukan wajah halus milik seorang perawat, dan tangan seorang dokter yang meraba dadaku. Aku mencoba membuka mulutku, tapi tak ada yang bisa keluar dari sini...hanya ada sakit yang membuatku enggan untuk bicara.
" Kau tidak apa-apa, hanya membutuhkan sedikit terapi…" kata dokter itu sambil mengacak rambutku. Aku mencoba tersenyum.
" Kenapa aku di sini?" ucapku terbata.
Ibuku hanya menggeleng lalu memelukku. Apa pun yang terjadi hari ini , dan apa yang akan kurasakan besok, hanya tinggal mengikuti ke mana waktu akan membawaku. Pergi ke mana aku kali ini? Ke mana waktu akan membawaku? Pun hari di mana aku tahu bahwa aku kehilangan kemampuan berjalanku, ke mana lagi waktu akan membawaku? Mengetahui bahwa aku bukan lelaki yang lemah, aku memutuskan untuk tetap bangkit. Tapi, aku pasti akan merepotkan banyak orang dan aku tidak bisa lagi menunggunya di sana. Kali ini aku benar-benar pasrah pada waktu, tapi aku bukan tipikal orang yang suka bersembunyi, karena kau memiliki bunga matahari yang tegar, karena ketegaran itu masih ada ketika aku membuka jendela kamarku…Aku menemukan bunga matahariku telah tumbuh sempurna di sana, meski aku belum menemukan kau lagi…Di mana kau? Adakah kau juga menugguku di sana? Atau adakah kau mengingatku sekali saja?
Aku selalu berusaha menjalani hidup ini seprti biasa, melewatinya dengan penuh semangat meski kini aku telah sesempurna sebelumnya, tak sekeren yang dulu, tak sehebat yang mereka pikirkan. Di sekolah, teman-teman tak banyak bicara dengan kadaanku…Hanya ada Firdi di sampingku, tak ada Lyra, Citra, atau siapa, tapi kondisi ini membuatku aman…
Aku selalu belajar mandiri di mana pun...seperti saat hujan seperti ini, aku berusaha membuka payungku sendiri…
" Mau kubantu?" Zahra menawarkan bantuan. Aku menggeleng sambil tersenyum. Aku bisa kalau hanya membuka payung, ini hal yang mudah.
" Ayo pulang!" teriak Firdi dari kejauhan sambil menerobos hujan. Dan aku hanya menatapi punggungnya yang menghilang di tikungan. Menatapi hujan yang jatuh dari langit lalu meletakkan tanganku di bawahnya. Inilah yang mungkin selalu kau rasakan, kesendirian…Air hujan perlahan-lahan memenuhi tanganku, membasahinya lalu meloncat-loncat seperti mutiara yang jatuh, lalu bergabung bersama dengan air yang lain…Aku menunggu hujan reda sambil menunggu jemputan juga. Aku terus menatapi tetes air hujan dan mulai menggambar embunnya di jendela kelasku. Tak ada yang menggambar bunga matahari. Hanya ada matahari kesepian di sana…matahari yang seandainya bisa memilih, lebih memilih menjadi bunga yang tumbuh di halaman rumahmu, agar setiap hari bisa melihatmu…Aku masih tetap menunggumu…
*** 
" Tidak usah…" aku menolak ketika ibuku memutuskan untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku ingin berjalan sendiri dan itulah kenapa aku berangkat lebih pagi hari ini. Taukah kau, hari ini tepat sebulan aku tak melihatmu, tak pernah melihat senyummu. Aku berjalan memutar kursi rodaku sendirian, menyusuri jalan-jalan yang mulai ramai oleh orang-orang. Apakah ada yang tengah merasakan hal yang sama denganku? Aku berhenti sejenak, menunggunya, mungkin aku akan menemukannya. Bosan, aku mengeluarkan selembar kertas dari tasku lalu mulai menulis.
Bukan mencari
Hanya belajar mengerti arti menemukan
Bukan kehilangan
Hanya belajar untuk tau makna memiliki
Aku melipat kertas itu pelan-pelan dan membentuknya menjadi burung-burungan kecil dan melepaskannya ke udara. Perlahan kertas itu menjauh, terombang-ambing oleh kendaraan yang lewat. Lima belas menit kemudian aku bersiap-siap menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah untuk selanjutnya aku ingin menyeberang. Menuju ke sekolahmu, meskipun aku juga tak mungkin menemukanmu ada di sana…Aku sudah hampir berjalan ketika satu dorongan yang kurasakan begitu lembut membuat roda kursi rodaku berputar…Aku membiarkannya sebelum akhirnya menoleh pada orang itu. Aku hampir berteriak ketika aku menyadari sesuatu, aku hampir berdiri untuk meyakinkan kenyataan yang ada di depanku…karena sesungguhnya itu adalah kau…Kau bisa melihat, sungguh, mata itu begitu indah…
" Terimakasih…" ucapku parau.
Kau berhenti sejenak, menatapku dan tersenyum untuk selanjutnya meninggalkanku sendiri…
Bukan berpisah
Hanya sedikit dari makna kata bertemu
Dan kedua kalimat itu menjejali pikiranku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar